KECERDASAN
EMOSIONAL SEBAGAI HASIL BELAJAR
Pendahuluan
Dalam
perkembangan dasawarsa belakangan ini semakin banyak tulisan dan kajian yang
menyorot secara kritis pentingnya peran kecerdasan emosional dalam mewujudkan
keberhasilan atau sukses seseorang.Pandangan sebelumnya yang menempatkan
kecerdasan intelektual (IQ) sebagai satu-satunya predictor untuk menentukan
keberhasilan seseorang semakin bergeser pada pandangan uang melihat adanya
kecerdasan-kecerdasan lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam mementukan
sukses seseorang. Karena itu pada bagian ini Anda diajak untuk membahas
pentingnya kecerdasan emosional dalam rangkaian proses pembelajaran.
Dengan mengkaji kecerdasan emosional ini, diharapkan Anda
memiliki emahaman yang baik sebagai bagian penting dari proses pembelajaran,dan
untuk mewujudkan hasil belajar yang diharapkan. Seperti telah kita kaji bersama
bahwa pembelajaran tidak lagi dipahami sekedar senagai proses transfer
pengetahuan berupa mata elajaran atau materi pelajaran kepada siswa. Pembelajaran
mendapat tempat yang lebih luas, harus menjadi wahana untuk penumbuh kembangan
potensi-potensi siswa secara holisotik melalui peran aktif mereka menuju
perubahan yang lebih baik. Dalam keadaan ini sangat diperlukan upaya-upaya
konstruktif guru dalam mengembangkan dimensi-dimensi emosional siswa agar
mereka semakin mampu menghadapi berbagai persoalan, bersemangat, ulet, tekun,
bertanggung jawab, mampu menjalin komunikasi secara sehat dengan individu atau
kelompok lain. Kesemuanya ini merupakan akar-akar emosi yang menjadi landasan
untuk mencapai sukses yang diharapkan.Menyadari pentingnya hal ini, maka pada
bagian ini Anda diajak untuk bersama-sama membahas tentang ciri-ciri kecerdasan
emosional, kegunaan-kegunaan emosi, kecakapan-kecakapan emosi, serta penerapan
kecerdasan emosional.
Berdasarkan uraian materi terserbut, maka setelah
mempelajari bab ini, berdiskusi dengan rekan-rekan Anda serta mengerjakan
tugas-tugas latihan yang disediakan, Anda diharapkan memiliki kompetisi:
1. Menjelaskan
pengertian kecerdasan emosional.
2. Menjelaskan
kegunaan-kegunaan emosi.
3. Menjelaskan
jenis-jenis kecakapan emosi.
4. Mengaplikasikan
kecerdasan emosional dalam proses pembelajaran.
Kajilah bersama-sama uraian materi berikut ini.Bilamana
ada bagian-bagian yang meragukan Anda, tanyakan kepada dosen Anda atau
diskusikan dengan rekan-rekan Anda.
A.
Pengertian
Kecerdasan Emosional
Istilah
kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog
Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New
Hampshire (Shapiro, 1997:5). Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai
penting bagi keberhasilan, yaitu:
1. Empati
2. Mengungkapkan
dan memehami perasaan
3. Mengendalikan
amarah
4. Kemandirian
5. Kemampuan
menyesuaikan diri
6. Disukai
7. Kemampuan
menyelesaikan masalah antar pribadi
8. Ketekunan
9. Kesetiakawaan
10. Keramahan
11. Sikap
hormat.
Untuk memberikan pemahaman dasar tentang kecerdasan
emosional, Daniel Golemen, pengarang buku Emotional Intelligence pada bagian
buku yang diberi judul Working with Emotional Intelligence mencoba menjelaskan
beberapa konsep keliru yang paling lazim terjadi dan harus diluruskan. Pertama, kecerdasan emosi tidak hanya
berarti “Berskap Ramah”.Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan
“Sikap Ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali memang tidak
menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari.Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti
memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa, “Memanjakan
perasaan-perasaan”, melainkan mengelola perasaan-perasaan sedemikian rupa
sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan seseorang
bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama.Tingkat kecerdasan emosi tidak
terikat dengan factor genetis, tidak juga dapat berkembang pada masa
kanak-kanak.Tidak seperti IQ yang hanya berubah sedikit setelah melewati usia
remaja, kecerdasan emosi lebih banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman
sendiri, sehingga kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini dapat terus tumbuh
(Goleman, 2000:9).
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan EQ
akan mampu membuat anak-anak bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk
disukai teman-temannya di tempat-tempat bermain, juga akan membantunya dua
puluh tahun kemudian ketika ia telah masuk dalam dunia kerja atau ketika sudah
berkeluarga. Dalam sebuah survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh
pemberi kerja baru, keterampilan-keterampilan teknik khusus tidak seberapa
penting disbanding kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan bersangkutan
(Goleman, 2000:19). Selain itu keterampilan-keterampilan lainnya adalah;
· Mendengarkan dan komunikasi lisan
· Adaptabilitas dan tanggapan kreatif
terhadap kegagalan dan halangan
· Manajemen pribadi, kepercayaan diri,
motivasi untuk bekerja, meraih sasaran keinginan mengembangkan karier dan
bangga dengan prestasi yang dicapai
· Efektivitas kelompok dan antar pribadi,
kerjasama dalam kelompok, keterampilan merundingkan perbedaan pendapat
· Efektivitas dalam perusahaan, keinginan
memberi kontribusi, potensi-potensi kepemimpinan.
Salovey dan Meyer mula-mula mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan social yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang
lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan”. Pendapat kedua memberikan isyarat bahwa keterampilan EQ
bukanlah lawan dari keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya
berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptualmaupun
empiric.Idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus
keterampilan social emosional. Barangkali perbedaan paling mendasar antara IQ
dan EQ adalah, bahwa EQ tidak dipenaruhi faktor keturunan, sehingga membuka
kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang telah
disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih
kesuksesan. Dengan demikian maka kecerdasan emosional lebih merupakan hasil
dari aktivitas individu dalam melatih fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau
oleh orang lain sehingga lebih merupakan hasil belajar.
B.
Ciri-ciri
Kecerdasan Emosional
Pada tahun-tahun terakhir ini sekelompok ahli psikologi
sampai pada kesimpulan dan sepakat dengan Gardner bahwa konsep-konsep lama tentang
IQ hanya berkisar kecakapan linguistik dan dan matemati ayang sempit.Gardner
menilai bahwa skala kecerdasan Stanford-Binet tidak meramalkan kinerja yang
sukses.Bahkan menurut sejumlah hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa
kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih signifikan disbanding kecerdasan intelektual (IQ).Kecerdasan otak
(IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan
emosional yang sesungguhnya (hapir seluruhnya terbukti) mengantarkan seseorang
menuju puncak prestasi.Terbukti, banyak orang yang memiliki kecerdasan
intelektual tinggi, kemudian terpuruk di tengah-tengah persaingan.Sebaliknya
banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa saja, justru sikses,
dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok.Di sinilah kecerdasan emosi (EQ)
membutuhkan eksistensinya.
Atas dasar itulah maka berkembang pandangannya tentang
kecerdasan lain yang lebih luas dari konsep baku IQ yaitu kecerdasan antar
pribadi yang lebih menekankan pada pemahaman tentang perasaan, dan mengakui
betapa pentingknya kemampuan emosional dan kemampuan komunikasi dalam hiruk
pikuk kehidupan. Ahli-ahli psikologi lain termasuk diantaranya Stenberg dan
Saovey telah menganut pandangan yang lebih luas dan berusaha menemukan kermbali
kerangka yang dibutuhkan manusia untuk meraih sukses dalam kehidupannya, dan
menuntun penelitian tentang betapa pentingnnya kecerdasan pribadi atau
kecerdasan emosional.
Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa kecerdasan
akademik, nilai-nilai intelektual yang selama ini merupakan sesuatu yang sangat
dibanggakan bahkan seakan-akan menjadi satu-satunya indikator dalam menentukan
keberhasilan dan keseuksesan seseorang semakin diragukan, bahkan menimbulkan
kekecewaan pada sejumlah orang.Prestasi akademik yang tinggi, predikat juara,
ternuata tidak cukup mampu memberikan bekal untuk dapat merespon berbagai
gejolak, kesulitan-kesulitan, dan berbagai dinamika kehidupan lingkungan yang
sangat dinamis. Berbagai pihak mulai memahami bahwa ada sisi lain yang lebih
penting atau sekurang-kurangnya sama kedudukan dan sama pentingnnya dengan
kecerdasan akademik. Kecerdasan lain selain dari kecerdasan akademik ini justru
lebih banyak menentukan sikap positif seseorang, kemampuan melihat masalah
dengan kelapangan jiwa, kemampuan mengatasi berbagai konflik internal maupun
eksternal, kemampuan mengatasi kegagalan dan pada akhirnya mencapai kesuksesan.
Kecerdasan yang oleh banyak kalangan akan memberikan kekuatan lebih besar
adalam diri seseorang, yang dinamakan kecerdasan emosional.
Goleman menggambarkan beberapa ciri kecerdasan emosional
yang terdapat pada diri seseorang berupa:
1. Kemampuan
memotivasi diri sendiri;
2. Ketahanan
menghadapi frustasi;
3. Kemampuan
mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
4. Kemampuan
menjaga suasana hati agar dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a;
Kemampuan-kemampuan ini ternyata mampu memberikan
kontribusi yang lebih besar terhadap diri seseorang untuk mampu mengatasi berbagai
masalah kehidupan.
Kemampuan memoivasi diri sendiri merupakan kemampuan
internal pada diri sesesorang berupa kekuatan menjadi suatu energy yang
mendorong seseorang untuk mampu menggerakkan potensi-potensi fisik dan
psikologis atau mental dalam melakukan aktivitas tertentu sehingga mampu
mencapai keberhasilan yang diharapkan.Seperti diketahui bahwa di dalam diri
setiap anak terkandung kekuatan berbagai potensi yang tidak secara otomatis
dapat didayagunakan oleh seseorang untuk mencapai sesuatu.Sebagai contoh,
seseorang memiliki kemampuan menyelesaikan 50 item soal dalam suatu latihan
dalam waktu yang ditentukan. Namun daam kenyataannya anak tersebut hanya mampu
menyelesaikan separoh dar latihan soal yang diberikan, selebihnya tidak
dikerjakan dengan alasan merasa lelah, jenuh atau ingin melakukan aktivitas
lain. Demikian pula mungkin Anda seringkali menyaksikan seorang anak belajar
dirumah hanya beberapa saat dari waktu yang disediakan, meskipun orang tuanya
mendampingi mereka, akhirnya pekerjaan rumah yang diberikan tidak dapat
dikerjakan seluruhnya. Pada sisi lain Anda juga sering menyaksikan seseorang
anak belajar atau mengerjakan tugas-tugas latihan secara tekun selama
berjam-jam tanpa mau beranjak dari tempat duduknya dengan menunjukkan wajah
yang gembira. Seorang pekerja mampu mengerjakan pekerjaannya secara tekun dan
disiplin tanpa ada pengawasan atau perintah, sehingga tugas-tugas yang
diberikan kepadanya mampu mencapai hasil yang optimal sesuai yang ia harapkan.
Gambaran tersebut adalah sebagan dari contoh kemampuan seserang memotivasi
dirinya sehingga ia mampu menjadikan kekuatan dalam dirinya sebagai energi yang
mampu mengoptimaliasai kekuatan dirinya untuk mencapai keberhasilan dan sukses
yang diinginkan.
Walaupun kemampuan memotivasi diri sendiri menjadi
sesuatu yang sangat penting sebagai wujud dari kemandirian anak, namun dalam
proses perkembangannya anak masih memerlukan peran orang tua untuk
memfasilitasi peningkatan motivasi mereka. Untuk itu sebagai orang tua maupun
guru dapat membantu mengembangkan kemampuan menumbuhkan motivasi diri anak
melalui;
a. Mengajarkan
anak mengharapkan keberhasilan
b. Menyediakan
kesempatan bagi anak untuk menguasai lingkungannya
c. Memberikan
pendidikan yang relevan dengan gaya belajar anak
d. Mengajarkan
anak untuk menghargai sikap tidak mudah menyerah
e. Mengajarkan
anak pentingnya menghadapi dan mengatasi kegagalan
Dalam melaksanakan proses panjang kehidupan, bahkan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari seseorang tidak mungkin melepaskan diri dari
masalah. Kemampuan yang harus dikembangkan pada setiap anak utamanya bukan
kemampuan untuk menghindari terjadinya masalah akan tetapi kemampuan melihat
secara jernih setiap masalah uang dihadapi, untuk selanjutnya mampu memobilasi
kekuatan diri dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut.
Harahap (1987) memaparkan berbagai kasus yang menggambarkan bagaimana seseorang
yang menghadapi masalah, kemudian sanggup mengkaji kembali masalah-masalah yang
dihadapinya serta menemukan jalan keluar yang lebih baik melalui sebuah buku
yang ditulisnya dengan judul “Jadikanlah Masalah Sebagai Sahabat”. Dalam resume
buku tersebut diungkapkan bahwa sepanjang hidup ini kita selalu menghadapi
masalah. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang sulit, dan bahkan ada yang
musykil.Dapatkah kita membayangkan bila hidup ini tanpa masalah.Masalah yang
kecil mungkin dapat kita selesaikan dengan mudah? Masalah yang rumit, yang
kalau tidak dapat diselesaikan dapat berkembang biak, berakan, bercucu, bahkan
menjadi kusut. Masalah akan membantu Anda menjadi lebih dewasa, masalah akan
dapat membantu daya piker Anda, bahkan membantu menjadi orang bijaksana.
Kemampuan menghadapi masalah akan mendorong anak untuk
memiliki daya tahan yang lebih tinggi bilamana suatu saat aia dihadapkan pada
persoalan-persoalan yang lebih kompleks dan rumit yang mungkin menyeret dirinya
menjadi frustasi. Bilamana keadaan yang buruk terjadi, maka anak diharapkan
dapat mengendalikan diri, menata emosinya sehingga tidak melakukan
tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Sejumlah pandangan memberikan saran untuk dapat
mengendalikan emosi agar tidak berkembang kearah negative antara lain
pentingnnya pengendalian diri melalui pemikiran yang jernih untuk menyadari
perasaan diri sepenuhnya, tidak tenggelam dalam permasalahan serta tidak mudah
pasrah. Kesadaran diri adalah kecakapan yang diusahakan untuk diperkuat oleh
sebagian besar perangkat psikoterapi, karena seperti dikeukakan oleh Freud
bahwa sebagian besar kehidupan emosional berada di alam bawah sadar;
perasaan-perasaan bergejolak dalam diri kita tidaklah senantiasa melintasi
ambang kesadaran.
Bilamana pengenalan diri dapat dilakukan dengan baik,
maka akan sangat membantu seseorang untuk dapat menguasai diri, yakni kemampuan
untuk menghadapi badai emosi terutama berupa nafsu seperti amarah yang
meluapluap, cemas yang berlebihan, depresi berat dan gangguan emosional yang
berlebihan. Pengendalian terhadap seseorang yang amarah misalnya dapat
dilakukan dengan menenangkan diri dan kemudian dengan cara yang konstruktif /
terarah menghadapi orang-orang tersebut untuk menyelesaikan permasalahannya.
Demikian pula dengan kecemasan yang seringkali menjurus pada kekhawatiran
kronis harus dipahami dengan hati yang jernih bagaimana proses kecemasan itu
terjadi.
Upaya lain yang dapat mengendalikan agar seseorang tidak
terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah atau depresi adalah melawan dorongan
hati. Tidak ada keterampilan psikologis yang lebih penting selain melawan
dorongan hati, karena ia merupakan akar segala kendali emosi, kemudian
seseorang harus mempunyai harapan dan optimism dalam kerangka bagaimana
seseorang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka.
Mihaly Csikszentmihalyi, ahli psikologi dari university
of Cicago mengumpulkan kisah-kisah
puncak kinerja penelitiannya dan melukiskan keadaan dimana seseorang
merasa sangat senang sewaktu melakukan kegiatan yang disukainya yang disebut flow. Keadaan flow merupakan puncak kecerdasan
emosional. Flowmerupakan keadaan
batin yang menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok.
Model flow menyiratkan bahwa mencapai
penguasaan keterampilan atau ilmu pengetahuan apapun idealnya harus berlangsung
secara alami, sewaktu anak tertarik pada bidang-bidang yang secara spontan
mengasyikkannya.Model ini sangat layak dikembangkan di sekolah-sekolah untuk
menghindari kebosanan sekaligus mengurangi rasa kecemasan di kalangan anak
(DePorter, 2000).
Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan menjadi ciri dari kecerdasan emosi. Kematangan
berpikr anak, tidak dapat sekedar ditunjukkan oleh kemampuan nalar, akan tetapi
justru lebih banyak ditunjukkan melalui isyarat-isyarat emosional. Ketika anak
menghadapi sukses seringkali kita melihat mereka mengaktualisasikan dengan sikap
yang berlebih-lebihan dan tidak jarang lupa dengan lingkungannya,
Dalam pembahasan emosi faktor empati merupakan hal penting
yang harus dikembangkan, karena dengan kemampuan berempati seseorang akan dapat
mengetahui bagaimana perasaan orang lain.Itulah sebabnya Martin Hoffman berpendapat
bahwa akar moralitas ada di dalam empati, dan dari studi yang dilakukan di
Jerman dan Amerika menemukan bahwa semakin empatik seseorang, maka semakin
besar kecenderungan seseorang mendukung prinsip moral.Dibalik itu ditemukan
pula bahwa orang-orang yang dengan tega melakukan berbagai kejahatan seperti
pemerkosaan terhadap anak-anak, sosiopat
ternyata tidak memiliki empati.
Kemampuan-kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi
atau keterampilan sosial perlu ditumbuhkembangkan pada setiap anak agar mereka
secara dini dapat diterima dan tidak dikucilkan oleh orang lain dan memiliki kepekaan
sosialyang tinggi terhadap orang lain. Hal ini sangat dimungkinkan untuk
dilatih atau diajarkan melalui aktivitas-aktivitas kongkrit mulai dari hal-hal
kecil dan sederhana yang ada di lingkungan anak.
Kemampuan menjaga suasana ahati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir juga merupakan salah satu ciri dari
kecerdasan emosional. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan mengatasi masalah,
karena seseorang yang telah mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi akan
lebih dewasa dalam menghadapi persoalan-persoalan yang lebih berat. Ketika
seseorang dihadapkan pada persoalan-persoalan yang berat, misalnya duka yang
sangat mendalam, kekecewaan yang berat secara tidak sadar emosinya dapat
mengalahkan nalar. Bilamana hal itu terjadi sangat mungkin seseorang melakukan
tindakan di luar control nalarnya yang mungkin dapat merusak keselamatan
dirinya. Sebagai contoh ketika seseorang akan membantu rekannya terjatuh dari
kendaraan, kemudian ia langsung memberikan pertolongan tanpa menyadari bahwa
ada bahaya besar dari arah lain yang dapat mencelakakan dirinya. Contoh lain,
ketika seorang rekan terjatuh kesungai yang dalam kemudian rekan yang lainnya
langsung menolong tanpa menggunakan alat bantu apapun, padahal ia tidak bias
berenang. Keadaan ini tentu akan sangat membahayakan dirinya.
Dalam berbagai kasus sering diungkapkan akibat-akibat yang
terjadi karena seseorang tidak mampu mengendalikan suasana hati dalam
menghadapi beban stress. Ketika anak kehilangan orang tua yang sangat ia cintai
yang selama ini dirasakannya sebagai tempat ia harus mengadukan segala
persoalan, sebaga penanggung jawab segala kebutuhan tiba-tiba hilang dalam
suatu peristiwa yang tragis, bencana dan sebagainya. Hal ini tentu menuntut
keterampilan emosional yang tinggi untuk mengendalikan diri.
Goleman memberikan perhatian yang besar terhadap
kebutuhan seseorang untuk mengakui adanya kekuatan yang lain yang lebih agung,
lebih kuasa di luar dirinya. Itulah sebabnya menurut Goleman kemampuan berdoa
juga merupakan ciri yang ada pada kecerdasan emosional. Seseorang yang memiliki
kecerdasan emosional akan dapat melihat persoalan-persoalan secara jernih,
berupaya mengatasi perosalan-persoalan tersebut dan berharap adanya kekuatan
penolong Yang Maha Pencipta. Adakalanya seseorang yang telah mampu mencapai
sukses, kemudian ia kembali berada dalam kehampaan, tidak mengerti lagi apa
yang harus diperbuat. Kesadaran akan adanya eksistensi berupa kemampuan untuk
mampu menemukan arah kehidupan yang benar ketika dirinya mencapai sukses oleh
Ari Ginanjar Agustian merupakan bentuk kecerdasan melebihi kecerdasan emosional
tetapi memadukan dua kecerdasan tersebut, yang disebutnya Kecerdasan Emosional
Spiritual (ESQ). Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil
mendaki kesuksesan, acapkali seseorang disergap denga perasaan ‘kosong’ dan
hampa dalam celah batin kebihdupannya. Setelah prestasi uncak dapat dipijak,
ketika semua pemuasan kebendaan telah diraih, setelah uang hasil jerih usaha
berada dalam genggaman, ia tidak lagi tahu kemana dia harus melangkah, untuk
apa semua prestasi itu diraihnya.Di posisi inilah ESQ tampil menjawab. ESQ
sebagai sebuah metode dan konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban dari
kekosongan batin sang jiwa (Agustian, 2007).
Pembahasan berkenaan dengan ESQ merupakan bagian penting
untuk dikasi dan dipahami secara mendalam. Tanpa mengesampingkan eksistensi
kajian ESQ, bagian ini lebih difokuskan pada uraian tentang EQ, dengan
melakukan pembahasan bersama tentang kegunaan dan penerapannya dalam proses
pembelajaran.
C.
Emosi
dan Kegunaannya
Dalam proses pembelajaran konvensional, aspek emosional
secara eksplisit tidak mendapat tempat dalam pembahasan dan uraian materi
perkuliahan atau pelajaran sehingga tidak menjadi bagian yang harus dipelajari.
Padahal dalam kenyataannya, keterampilan-keterampilan emosional seperti
diungkapkan sebelumnya dapat dipelajari dan dilatih kepada anak karena disadari
banyak yang dapat dilakukan guru, orang tua dan orang-orang dewasa lainnya
dalam membantu anak mewujudkan kecerdasan emosinya.Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak yang dilatih emosinya pada permulaan masa
kanak-kanak sungguh-sungguh mengembangkan jenis keterampilan sosial ini di
kemudian hari, keterampilan sosial mampu membantu mereka untuk diterima oleh
rekan-rekan sebaya dan untuk menjalin persahabatan-persahabatan (Gottman &
DeClaire, 1997:29).
Kecerdasan emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan seseorang
yang paling mendalam, dan merupakan satu kekuatan, karena dengan adanya emosi
itu manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah
manusiawi.Emosi menyebabkan seseorang memiliki rasa cinta yang sangat dalam
sehingga bersedia melakukan suatu pengorbanan yang sangat besar sekalipun,
walau kadang-kadang pengorbanan itu secara lahiriah tidak memberikan keuntungan
langsung pada dirinya bahkan mungkin mengorbankan dirinya sendiri. Kekuatan emosi
seringkali mengalahkan kekuatan nalar, sehingga ada suatu perbuatan yang
mungkin secara nalar tidak mungkin dilakukan seseorang, tetapi karena kekuatan
emosi kegiatan itu dilakukan, seperti halnya peristiwa dari kasus yang
diungkapkan di awal tulisan Daniel Goleman, dimana karena cinta teramat kuat
mendorong orang tua secara spontan memilih mengutamakan menyelamatkan anak
tercintanya mengalahkan hasrat menyelamatkan diri sendiri.
Para ahli sosiobiologi menyatakan keunggulan perasaan
dibandingkan nalar, sehingga pada saat-saat tertentu emosi ditempatkan sebagai
titik pusat jiwa manusia.Menurut para ahli tersebut emosi menuntun kita
menghadapi saat-saat kritis dan tugas-tugas yang riskan bila hanya diserahkan
pada otak.Oleh karena itu pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan
kekuatan emosi, jelas merupakan pandangan yang amat picik. Sebutan Homo Sapiens, merupakan hal yang keliru
dalam pola pemahaman serta visi baru yang ditawarkan oleh sains saat ini
tentang emosi dalam kehidupan kita. Hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya bahkan seringkali lebih
penting daripada nalar. Mereka mengemukakan bahwa “kita sudah terlampau lama
menekankan pentingnya nilai dan makna rasional murni yang menjadi tolok ukur IQ
dalam kehidupan manusia, padahal kecerdasan tidak akan berarti jika tidak
didukung oleh kekuatan emosi”.
Karena emosi merupakan suatu kekuatan yang mengalahkan
nalar, maka harus ada upaya untuk mengendalikan, mengatasi, dan mendisiplinkan
kehidupan emosional, dengan memberlakukan aturan-aturan guna mengurangi
ekses-ekses gejolak emosi, terutama nafsu yang terlampau bebas dalam diri
manusia yang seringkali mengalahkan nalar. Pengembangan emosi di kalangan
anak-anak akan membantu mereka mengambil keputusan dan dapat menilai seseuatu
mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian
berarti pula melindungi mereka dari berbagai propaganda dan slogan yang tidak
sesuai dengan diri dan nilai-nilai yang dianutnya.
Manusia secara universal memiliki dua jenis tindakan
pikiran, yaitu tindakan pikiran emosional (perasaan) dan tindakan berpikir
rasional (berpikir). Kedua cara pemahaman yang secara fundamental berbeda ini
bersifat saling mempengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pertama
pikiran rasional, adalah model pemahaman yang lazimnya kita sadari : lebih
menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi.
Tetapi bersamaan dengan itu ada system pemahaman yang lain: yang implusif dan
berpengaruh besar bila kadang-kadang tidak logis, yaitu fikiran emosional.
Dikotomi emosional / rasional kurang lebih sama dengan istilah awam antara
“hati” dan “kepala”. Mengatakan sesuatu yang benar di dalam hati merupakan
tingkat keyakinan yang berbeda yang cenderung merupakan kepastian lebih
mendalam daripada mengaggapnya benar dengan menggunakan akal.
Kedua fikiran tersebut, yang emosional dan yang rasional,
pada umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat, saling melengkapi dalam
mencapai pemahaman guna mengarahkan seseorang menjalani kehidupan
duniawi.Biasanya ada keseimbangan antara pikiran emosional dan pikiran
rasional, dimana emosi memberi masukan dan informasi kepada pikiran rasional,
dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memvote masukan-masukan emosi
tersebut.Nampun pikiran emosional dan rasional merupakan kemampuan-kemampuan
yang semi mandiri, masing-masing mencerminkan kerja jaringan sirkuit yang
berbeda, namun saling terkait di dalam otak.Di dalam banyak atau sebagian besar
peristiwa, pikiran-pikiran ini terkoordinasi secara istimewa.Perasaan sangat
penting bagi pikiran, dan pikiran sangat penting bagi perasaan.
Jika dipahami dari struktur biologis, bahwa
masalah-masalah emosi adalah bersumber dari amigdala yang merupakan bagian
penting dari otak.Jika amigdala dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya,
maka hasilnya manusia tidak memiliki kemampuan menangkap makna emosional suatu
peristiwa atau yang disebut “kebutuhan afektif”.Dan karena kehilangan bobot
emosional, maka peristiwa-peristiwa menjadi tidak memiliki makna, misalnya
menarik diri dari hubungan antar manusia, tidak lagi mengenali sahabat bahkan
ibunya sendiri, tetap pasif menghadapi kecemasan.Disamping perasaan nafsu juga
tergantung pada amigdala. Amigdala menempati kedudukan strategis dalam
kehiduppan mental, semacam penjaga psikologis, ia juga dapat menyimpan ingatan
dan reporter respons, sehingga seseorang dapat bertindak tanpa betul-betul ia
menyadari menapa dia melakukan sesuatu.
Uraian-uraian di atas menyiratkan betapa pentingnya
keseimbangan antara akal dan emosi, menyesuaikan kepala dan hati, dan bilamana
keseimbangan ini goyah akan terjadi perseteruan nalar dan perasaan. Yang
mendasari semua ini adalah bagaimana seseorang dapat memahami penggunaan emosi
secara cerdas sehingga dia akan dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan
lebih baik dalam suatu keseimbangan.
D.
Kecakapan-kecakapan
Emosional
Upaya-upaya yang selama ini hamper seluruhnya diarahkan
dalam meningkatkan standar akademis, pada akhir-akhir ini semakin dirasakan
kepincangannya. Kecemasan yang sangat mendalam terhadap diperolehnya nila-nilai
buruk anak-anak dalam sejumlah mata pelajaran, dikejutkan lagi oleh kecemasan
lain yang lebih besar lantaran banyak kasus siswa yang mengejutkan justru tidak
berkaitan dengan nilai-nilai akademis tersebut, misalnya bagaimana seorang
siswa dengan tega membunuh teman dekatnya sendiri. Kekurangan lain yang
menimbulkan kecemasan lebih besar tersebut adalah buta emosi. Kekurangan baru berupa buta emosi yang dapat
menimbulkan ekses-ekses negative lebih besar ketimbang rendahnya standar
akademis justru belum dipertimbangkan dalam kurikulum sekolah yang baku.
Tanda-tanda kekurangan perhatian terhadap aspek emosi
terlihat dari banyaknya peristiwa-peristiwa kekerasan dikalangan siswa,
meningkatnya kekacauan masa remaja dan beberapa ekses perilaku negative
lainnya.Di Amerika Serikat dalam tahun 1990 penahanan kaum remaja karena
terlibat kasus perkosaan meningkat menjadi dua kali lipat, laju pembunuhan anak
muda meningkat menjadi empat kalinya. Dalam dua dasawarsa yang sama, laju bunuh
diri remaja meningkat tiga kali lipat, demikian juga jumlah anak-anak berumur
di bawah empat belas tahun yang menjadi korban pembunuhan. Masih banyak
kasus-kasus lain yang menunjukkan kecenderungan meningkatnya perilaku-perilaku
negative dan criminal yang sangat meresahkan.
Penyebab paling lazim dari berbagai peristiwa di atas
adalah terutama pada anak-anak adalah penyakit mental, utamanya berupa
gejala-gejala depresi. Berdasarkan penilaian orang tua dang utu pada tahun
1970-an dengan keadaan pada akhir 1980-an pada anak-anak amerika usia 7 hingga
17 tahunan rata-rata anak semakin parah dengan masalah spesifik berikut: (1)
menarik diri dari pergaulan atau masalah sosial, (2) cemas dan depresi, (3)
memiliki masalah dalam hal perhatian dan berpikir (4) nakal atau agresif.
Depresi atau kemerosotan emosi merupakan gejala universal kehidupan modern, dan
keadaan ini akan semakin parah bilamana keluarga tidak lagi dapat berfungsi
dengan baik dalam meletakkan landasan yang kuat bagi anak.
Tinjauan baru terhadap penebab depresi pada kaum muda
menunjukkan dengan jelas adanya cacat dalam dua bidang keterampilan emosional,
yaitu keterampilan membina hubungan, dan cara menafsirkan kegagalan yang memicu
timbulnya depresi. Cara menafsirkan kegagalan hidup secara pesimistik tampaknya
memperbesar dasa tak berdaya dan putus asa.Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa meningkatnya depresi sangat erat kaitannya dengan peristiwa politik
seperti peningkatan yang terjadi setelah perang saudara.Namun apapun
penyebabnya, depresi pada orang muda merupakan masalah yang mendesak, dan
depresi pada anak-anak, bukan sekedar perlu diobati melainkan harus dicegah.
Beberapa pendapat menunjukkan menghilangkan atau paling
kurang menurunkan depresi pada anak, antara lain dapat dilakukan dengan cara
melihat dan memahami kesulitan itu sendiri, untuk terampil menjalin
persahabatan, bergaul lebih baik dengan orang tua, dan melibatkan diri dalam
kegiatan-kegiatan sosial yang diminati. Dan yang lebih penting lagi adalah
mengubah pikiran-pikiran yang menekan, yang oleh pakar depresi (Kovacs) disebut
vaksinasi psikologi.
Depresi telah membawa seseorang seringkali melakukan
seseuatu yang sesungguhnya merugikan dirinya sendiri, misalnya mendorong
sejumlah orang untuk minum minuman keras, padahal efek metabolic alcohol justru
seringkali hanya memperburuk depresi itu sendiri.Hasil dari salah satu
penelitian menemukan lebih dari separo pasien yang diobati di sebuah kllikin
karena kecanduan kokain pernah didiagnosis menderita depresi berat sebelum
mereka kecanduan, dan semakin parah depresi sebelumnya, semakin kuat
kecanduannya.
Cara yang paling terbaik untuk mencegah terjadinya
berbagai tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang sebagai dampak dari
depresi adalah dengan mengembangkan keterampilan emosional melalui penemuan
ketahanan diri pada anak.Keterampilan ini mencakup kepandaian bergaul yang
membuat orang tertarik pada mereka, keyakinan diri dan sikap optimis yang terus
menerus dalam menghadapi kegagalan dan kekecewaan, kemampuan untuk dengan cepat
bangkit dari kegagalan, dan sikap santai.Sebuah kemampuan penting untuk
mengendalikan dorongan hati adalah mengetahui perbedaan antara perasaan dan
tindakan, dan belajar membuat keputusan emosional yang lebih baik dengan
terlebih dahulu mengendalikan dorongan dan mengidentifikasi konsekuensi sebelum
melakukan suatu tindakan. Pada sisi lain perlu penjelasan dan aturan-aturan
yang tegas tentang hak-hak, kewajiban serta segala sesuatu yang dapat merugikan
dan membahayakan diri anak.
E.
Penerapan
Kecerdasan Emosional
Daya-daya emosi yang dimilik oleh orang-orang dewasa
sesungguhnya berakar dari masa kehidupan kanak-kanak.Akar perbedaan emosi
meskipun untuk sebagian bersifat biologis dapat pula ditelusuri dari kehidupan
masa kanak-kanak dan dari dua dunia emosi terpisah yang dihuni untuk laki-laki
dan yang dihuni oleh anak-anak perempuan ketika mereka tumbuh
dewasa.Perbedaan-perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan anak
perempuan ketika masih kanak-kanak dan perbedaan pandangan laki-laki dan
peremuan itu sendiri terhadap suatu persoalan memperkuat sinyal perbedaan
ketika mereka dewasa.Carol Gilligan mengungkapkan perbedaan kunci antara
laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki bangga karena kemandirian dan
kemerdekaannya yang berpikir ulet dan mandiri, sementara anak perepuan melihat
dirinya sebagai bagian dari jaringan hubungan.Oleh karena itu laki-laki
terancam bilamana ada apa-apa yang dapat menantang kemandiriannya, sementara
perempuan lebih terancam oleh putusnya hubungan yang mereka bina.
Perbedaan-perbedaan dalam pendidikan emosi menghasilkan
keterampilan-keterampilan yang berbeda, anak perempuan mahir membaca baik
sinyal komunikasi verbal maupun nonverbal, mahir mengungkapkan dan
mengkomunikasikan perasaan-perasaanna, dan anak laki-laki menjadi cakap dalam
meredam emosi berkaitan dengan perasaan rentan, salah, takut, dan sakit. Jika
dilihat lebih jauh dalam kehidupan berumah tangga, maka pada umumnya wanita
memasuki jenjang perkawinan dengan sikap siap untuk berperan sebagai menejer
emosi, sedangkan pria datang dengan pemhaman yang jauh lebih sempit tentang
pentingnya tugas untuk membantu mempertahankan kelanggengan hubungan. Para
suami umumnya kurang memahami apa yang dikehendaki oleh isteri dari mereka.
Mereka ingin memenuhi kebutuhan isterinya yang lebih besar, sementara
sesungguhnya isterunya hanya menginginkan meluangkan waktu untuk berbicara
bersama.Akibat perbedaan-perbedaan emosi antara suami dan istreri tersebut
akhirnya menimbulkan keluhan-keluhan dan ketidakcocokan dalam kehidupan
berkeluarga. Kegagalan dalam mengatasi hal-hal ini dapat menyebabkan pasangan
suami isteri akan rawan terharap keretakan-keretakan emosional yang pada
akhirnya dapat menghancurkan hubungan mereka.
Seringnya menjadikan pasangan sebagai korbang yang tak
bersalah, atau amarah uang besar adalah ciri pasangan yang perkawinannya
mengalami gangguan. Stress batin dan sikap pesimis dari salahs atu pasangan
akan membuka lebar segala kritik dan penghinaan dalam menghadapi pasangannya.
Hasil sikap yang menyakitkan ini memunculkan krisis perkawinan yang tak kuncung
reda sebab sikap-sikap itu memicu terjadinya pembajakan emosi (flooding) sehingga akan lebih sulit
untuk pulih dari amarah serta sakit hati yang ditimbulkannya.
Setiap emosi yang kuat berakar dari adanya dorongan untuk
bertindak, dan mengelola dorongan itu sangat penting bagi kecerdasan
emosional.Untuk meredakan ketegangan yang terjadi perlu penenangan diri
sehingga tidak mengarah pada terjadinya flooding,
mendengarkan pembicaraan pasangan secara sungguh-sungguh tanpa bersifat
defensif. Kesemuanya ini tentu bukan hal yang mudah, akan tetapi akan
memerlukan waktu dan perlu latihan-latihan. Oleh sebab itu dapat dikemukakan
bahwa obat penawar terhadap hancurnya perkawinan adalah perlu upaya perbaikan
pendidikan dalam kecerdasan emosional.
Dalam berbagai bentuk kegiatan baik pada perkantoran,
pada perusahaan, rumah sakit penerapan kecerdasan emosional menjadi bagian yang
paling penting. Jika hal itu dapat diterapkan pada perkantoran atau
perusahaan-perusahaan orang-orang merasa lebih terbuka dan leluasa mengutarakan
keluhan-keluhan sebagai kritik yang membangun,terciptanya suasana dimana keragaman
dihargai dan dapat menjalin jaringan kerja yang efektif. Pada rumah sakit
dokter dan perawat mau berempati, meu menyesuaikan diri dengan pasien dan mau
menjadi pendengar dan penasehat yang baik.Kesemua ini menyiratkan betapa
kecerdasan emosional itu menjadi penting untuk diterapkan dalam semua aktivitas
yang dilakukan baik secara pribadi maupun dalam aktivitas kelompok.
Dalam proses pembelajaran, penerapan kecerdasan emosional
dapat dilakukan secara luas dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik
pembelajaran. Pemahaman guru terhadap kecerdasan emosional serta pengetahuan
tentang cara-cara penerapannya kepada anak pada saat ini merupakan bagian
penting dalam rangka membantu mewujudkan perkembangan potensi-potensi anak
secara optimal.Karena itu berikut diuraikan benuk konkrit upaya mengembangkan
kecerdasan emosional anak.
1.
Mengembangkan
Empati dan Kepedulian
Pada uraian
diatas salah satu bagian yang telah kita bahas bersama adalah tentang ciri-ciri
kecerdasan emosional. Satu di antara ciri kecerdasan emosional tersebut adalah
kemampuan menghadirkan sesuatu yang terjadi pada orang lain dalam emosi kita
sendiri. Shapiro (1997:49), menguraikan satu kasus yang memberikan inspirasi
kepada kita untuk memahami empati. Dalam kasus tersebut dijelaskan bahwa;
Dwaina Brooks,
seorang anak kelas empat memilih untuk menulis karya tulis yang membahas kaum
tunawisma.Sebagaimana kebanyakan anak seusianya, topic ini baru sampai ke
tahapan menarik dan belum sampai ke tahapan mempengaruhi. Oleh karena itu suatu
hari dalam perjalanan pulangnya dari sekolah, ia singgah untuk berbicang dengan
seorang tunawisma dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana sebagai
berikut, “Apa yang Anda perlukan?”
“Rumah dan pekerjaan”, jawab orang
itu tanpa dibuat-buat. Dwaina tahu bahwa ia tidak sanggup memenuhi kebutuhan
itu, maka ia bertanya lagi, “Selain itu apa lagi yang Anda perlukan?”
“Makanan yang enak”, jawab orag itu,
dan kali ini Dwaina merasa bahwa dalam hal ini mungkin ia dapat membantu.
Sesudah tiga hari membuat rencana
dan berbelanja, Dwaina dibantu oleh ibunya dan kedua saudara perempuannya
membuat lebih dari 100 porsi mekanan, lalu membawanya ke sebuah tempat
penampungan tunawisma terdekat.Selanjutnya hampir setiap jumat malam selama
setahun, Dwaina dan keluarganya berbuat demikian. Dengan dana sumbangan
masyarakat sekitar dan bantuan teman-teman kelasnya, Dwaina membuat ribuan
porsi makanan bagi kaum tunawisma di Dallas.
Waktu diwawancarai oleh wartawan USA
“Today”, ia menerangkan alasannya berbuat demikian, “Tiap-tiap orang di antara
kita pasti mempunyai dorongan untuk memperhatikan oranglain… Dan memang sebetulnya
kita memang berhutang. Tidak ada orang yang tidak pernah menerima bantuan dari
orang lain. Maka kita harus selalu siap memberikan yang pernah kita terima dari
orang lain”.
Kasus di atas menceritakan kepada kita, melalui peran
Dwaina yang mencontohkan kepada kita makna empati, ia mampu menempatkan diri
dalam berbagai posisi orang lain. Bahkan ia lebih dari bersikap empati, karena begitu
ia menyadai apa yang dirasakan oleh tunawisma di lingkungannya, ia tergerak
untuk berbuat sesuatu bagi orang itu. Hasilnya ia meringankan penderitaan
ratusan orang.
Anak-anak yang memiliki empati kuat cenderung tidak
begitu agresif dan rela terlibat dalam kegiatan sosial, misalnya menolong orang
lain dan bersedia berbagi. Anak-anak yang bersikap empati pada umumnya lebih
disukai rekan-rekannya dan orang dewasa serta lebih berhasil baik di sekolah
maupun di tempat kerja. Demikian juga anak-anak yang memiliki empati yang kuat
ini memiliki kemampuan lebih besar untuk menjalin hubungan dengan teman sejawat
dan dengan orang lain.
Beberapa cara yang perlu dilatihkan kepada anak untuk
mengembangkan sikap empati dan kepedulian, antara lain:
a. Memperkuat tuntutan pada anak mengenai
sikap peduli dan tanggung jawab
b. Mengajarkan dan melatih anak
memprakttekkan perbuatan-perbuatan baik
c. Melibbatkan anak di dalam
kegiatan-kegiatan layanan masyarakat.
2.
Mengajarkan
Kejujuran dan Integritas
Menurut Paul
Ekman, penulis buku Why Children Lie, ada bermacam-macam alas an mengapa anak
tidak berkata benar; sebagian dapat dimengerti, sebagian yang lain tidak. Anak
kecil paling sering berbohong dengan maksud untuk menghindari hukuman, untuk
mendapatkan seseuatu yang mereka inginkan, atau untuk mendapatkan pujian dari
sesame teman.Anak remaja paling sering berbohong untuk melindungi privasinya,
untuk menguji kewibawaan orang tua dan untuk melepaskan diri dari rasa
malu.Mungkin Anda masih ingat bahasan tentang tahap-tahap perkembangan moral
yang diungkapkan oleh Kohlberg dimana kebohongan dapat dilakukan anak agar
terlepas dari hukuman (Kohlberg, 1995).
Kebanyakan pengamat masalah anak-anak menilai bahwa
walaupun berbohong pada batas-batas tertentu dapat dimaklumi dari segi perkembangan
anak, namun hal ini dapat menjadi masalah bila berbohong menjadi kebiasaan atau
berbohong dalam hal yang penting bagi kepentingan diri mereka yang lebih
substantive.Seperti yang ditulis oleh Ekman, “Berbohong mengenai masalah serius
bukan hanya suatu masalah yang akan pempersulit tugas orang tua”.Berbohong
mengikir kedekatan dan keakraban. Kebiasaan berbohong menumbuhkan benih
ketidakpercayaan, karena perbuatan ini menghianati kepercayaan orang lain.
Hampir tidak mungkin kita tinggal bersama orang lain yang sering berbohong. Di
samping itu hasil penelitian terhadap anak-anak yang sering berbohong
menunjukkan bahwa mereka sering terlibat dalam berbagai bentuk perilaku
antisosial, termasuk meniou, mencurii, dan aksi kekerasan. Hal ini terjadi
antara lain akibat kenyataan anak-anak yang suka berbohong biasanya cenderung
berteman dengan anak-anak yang tidak jujur dan mereka mengembangkan kelompok
sebaya yang seringkali memiliki kebiasaan yang sama.
Beberapa hal penting yang dapat dilakukan guru atau orang
tua dalam menumbuhkan kejujuran anak, antara lain adalah:
a. Usahakan
agar pentingnya kejujuran terus menjadi topic perbincangan dalam rumah tangga,
kelas dan sekolah.
Di dalam kelas, sambil
guru mengajarkan mata pelajaran-mata pelajaran tertentu kepada anak guru dapat
memasukkan berbagai cerita yang bermuatan kejjuran. Hal ini dapat dilakukan
ketika guru mengajarkan pada mata pelajaran apa saja. Yang perlu ditekankan
kembali bahwa menanamkan kejujuran pada siswa tidak hanya menjadi muatan mata
pelajaran-mata pelajaran tertentu saja, atau oleh guru-guru tertentu saja akan
tetapi harus dilakukan oleh semua warga sekolah.
b. Membangun kepercayaan.
Membangun kepercayaan
anak dapat dilakukan dengan baik dengan menyampaikan cerita-cerita yang
bertemakan saling kepercayaan atau melalui berbagai bentuk permainan.
Dalam proses
pembelajaran di kelas, guru dapat melatih saling percaya di kalangan siswa
melalui kegiatan-kegiatan yang secara langsung melibatkan peran mereka,
misalnya memberikan kepercayaan pada siswa untuk menilai pekerjaan-pekerjaan
mereka, atau menilai pekerjaan rekan-rekan siswa yang lain.
c.
Membangun kepercayaan.
Menghormati privasi anak
berarti memberikan ruang yang berarti bagi tumbuhnya rasa percaya pada anak dan
penghargaan pada anak. Guru dan orang tua harus berupaya untuk menghargai
hal-hal yang mungkin dapat mengurangi harga diri mereka di depan teman-teman
sebaya, orang tua maupun guru.
3.
Mengajarkan
Memecahkan Masalah
Dari pengamatan yang kita lakukan, pada umumnya orang tua
dan guru kurang memberikan kepercayaan penuh kepada anak-anak untuk memecahkan
masalah.Kebanyakan orang tua begitu cepat memberikan bantuan kepada anak dalam
menyesuaikan sesuatu, padahal bantuan itu belum betul-betul dibutuhkan.Demikian
pula begitu sering orang tua maupun guru membuat suatu keputusan bagi
anak-anak, padahal bilamana mereka diberikan kesempatan dan dorongan yang lebih
besar, mungkin sekali mereka mampu memandang suatu masalah dari segala sisi dan
memecahkan masalah yang rumit sekalipun yang sesungguhnya sangat berguna bagi
kelangsungan kualitas hidup mereka.
Hal sangat penting yang harus diketahui pada pendidik
adalah kemampuan memecahkan masalah merupakan bagian yang menyatu dengan proses
pertumbuhan. Pertumbuhan intelektual dan emosional anak didorong olej proses
pemecahan masalah. Seperti keterampilan EQ yang lainnya, kemampuan anak untuk
memecahkan masalah umumnya sejalan dengan peningkatan usia.
Dalam sebuah buku yang berjudul children solving problem karangan Stepahanie Thomton (Shapiro,
1997:141) mengutip sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak-anak jauh
lebih ahli dalam memecahkan masalah jauh dari yang diduga oleh kebanyakan
norang. Ia menyimpulkan bahra pemencahan masalah yang berhasil tidak begitu
tergantung pada kecerdasan si anak, akan tetapi lebih kepada pengalaman mereka.
Anak-anak sunggup memecahkan masalah yang lumayan rumit
bila mereka terbiasa dibimbing menggunakan istilah-istilah yang akrab dan
konkrit bagi mereka, walaupun seringkali juga gagal menjawab soal yang sama
jika soal itu disajikan dalam bentuk abstrak yang tidak jelas. Oleh karena itu
dalam proses pembelajaran, anak-anak harus sesering mungkin diajak untuk
memecahkan masalah yang sesuai dengan tingkat usia dan pengalaman yang mereka
dapat. Bilamana anak dibiasakan memecahkan masalah, maka berarti guru atau
orang tua telah membangun gudang pengalaman yang kelak dapat mereka gunakan
untuk memecahkan masalah-masalah berikutnya.
Dalam sebuah buku berjudul Becoming A Teacher, Parkey (1997) mengemukakan bahwa untuk
menghadapi tantangan masa depan, siswa akan membutuhkan pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai di Sembilan area kunci yaitu; (a) kemampuan
berbahasa, matematika dan sains, (b) keterampilan teknologi baru, (c) kemampuan
pemecahan masalah, pikiran kritis dan kreativitas, (d) kesadaran sosial,
keterampilan berkomunikasi, dan membangun sinergisitas kelompok, (e) kesadaran
global dan keterampilan konservasi, (f) pendidian kesehatan dan kesejahteraan,
(g) orientasi moral dan etika, (h) kesadaran estetika, (i) pendidikan seumur
hidup untuk kemandirian belajar. Kesembilan area kunci tersebut dituangkan pada
gambar di halaman berikut;
Gambar 4.1
Education
Priority for the Future
(Diadaptasi
dari Parkey, 1997:445)
Berdasarkan gambar diatas, jelas sekali bahwa kemampuan
pemecahan masalah merupakan salah satu kompetensi yang harus diajarkan kepada
siswa. Dalam prakti pembelajaran, mengajarkan anak memecahkan masalah akan
lebih baik bilamana juga sekaligus diajarkan cara-cara berpikir sistematik.
Karena itu langkah-langkah pemecahan masalah berikut sangat tepat untuk
diterapkan, yaitu:
a. Mengidentifikasi masalah
b. Memikirkan alternatif pemecahan
c. Memnandingkan alternatif-alternatif pemecahan yang mungkin akan dipilih
d. Menentukan pemencahan yang terbaik.
a. Mengidentifikasi masalah
b. Memikirkan alternatif pemecahan
c. Memnandingkan alternatif-alternatif pemecahan yang mungkin akan dipilih
d. Menentukan pemencahan yang terbaik.
Dalam mengajar siswa memecahkan masalah, guru hendaknya
memperhatikan secara sungguh-sungguh pengalaman-pengalaman siswa, terutama
sekali di kalangan siswa yang berada pada jenjang pendidikan yang lebih
rendah.Hal ini disebabkan karena anak-anak belajar memecahkan masalah melalui
pengalaman-pengalaman merek.Upayakan sedapat mungkin memberikan tantangan untuk
memecahkan masalah, tanpa banyak campur tangan guru.Di samping itu giri perlu
mengembangkan suasana yang mendukung pemecahan masalah tersebut yang
memungkinkan mereka merasa lebih percaya diri serta merasa memiliki keleluasaan
dalam mengambil keputusan yang tepat.
Rangkuman
Hasil belajar
yang diharapkan dicapai oleh anak adalah terjadinya perubahan perilaku secara
holistik. Pandangan yang menitik beratkan hasil belajar dalam bentuk penambahan
pengetahuan saja merupakan wujud dari pandangan yang sempit, karena belajar dan
pembelajaran harus dapat menyentuh dimensi-dimensi individual anak secara
menyeluruh, termasuk dimensi emosional yang dalam waktu cukup lama input dari
perhatian. Hal ini dipandang semakin penting karena dari berbagai hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa keberhasilan belajar ternyata lebih banyak
ditentukan oleh faktor-faktor emosi, antara lain daya tahan, keuletan,
ketelitian, disiplin, rasa tanggung jawab, kemampuan menjalin kerjasama,
motivasi yang tinggi serta beberapa dimensi emosional lainnya. Bahkan sukses
yang dicapai dalam kehidupan yang lebih luas, terbukti juga lebih banyak
ditentukan oleh kecerdasan emosional seseorang.
Sebagian bersar ahli yang mengkaji aspek-aspek emosi
menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan hasil dari proses belajar,
walaupun beberapa diantaranya ada yang berpendapat bahwa hal itu dipengaruhi
oleh faktor bawaan. Oleh sebab itu maka melalui kegiatan pembelajaran, guru
harus menyediakan atau menciptakan ruang yang luas dan iklim yang kondusif
untuk berkembangnya kecerdasan emosional anak.Kemampuan guru melatih setiap
dimensi-dimensi emosi harus dipandang sebagai bagian esensial
pembelajaran.Dengan demikian berarti pula perubahan-perubahan yang terjadi pada
anak melalui kegiatan pembelajaran harus menyentuh dimensi-dimensi emosional
ini, bukan hanya dilihat dari perubahan kognitif belaka.
Penerapan kecerdasan emosional dapat dilakukan secara
luas dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik
pembelajara.Untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional perlu diawali dengan
pemahaman guru tentang kecerdasan emosional serta pengetahuan tentang cara-cara
penerapannya. Karena itu penting bagi guru untuk mengkaji aspek-aspek yang
berkaitan dengan emosi bagaimana melatih dimensi-dimensi emosi melalui proses
pembelajaran sehingga diharapkan semuanya dapat beruara pada peningkatan
potensi-potensi anak secara optimal.
Latihan
- Kemukakan kesimpulan Anda tentang konsep kecerdasan emosional!
- Kecerdasan emosional dan kecerdasan akademik atau kecerdsasan intelektual berada pada dimensi yang berbeda, akan tetapi pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama. Kemukakan argumentasi Anda untuk menjelaskan pernataan tersebut!
- Berdasarkan kajian Anda, dapatkah kecerdasan emosi dibentuk atau dikembangkan. Kemukakan alasan-alasan Anda. Sertai beberapa contoh untuk memperjelas jawaban Anda!
- Sebutkan dan jelaskan beberapa jenis kecakapan emosi! Temukan perbedaan-perbedaan antara masing-masing kecakapan emosi tersebut!
- Gambarkan satu peristiwa tertentu yang membutuhkan kecakapan emosi tertentu untuk mengatasi atau memperbaikinya!
- Kemukakan beberapa contoh penerapan kecerdasan emosional di dalam proses pembelajaran!
- Diskusikan bersama rekan-rekan Andak untuk menemukan hubungan antara pentingnya kecerdasan mejemuk dengan tantangan-tantangan di masa depan!
0 komentar:
Posting Komentar