2.11 Model – Model
Evaluasi Kurikulum
A.
Evaluasi model penelitian
Model evaluasi
kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan metode
tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes psikologis atau tes psikometrik
pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditujukan untuk
mengukur kemampuan bawaan serta hasil belajar yang mengukur perilaku skolastik.
Eksperimen lapangan
dalam pendidikan, dimulai pada tahun 1930, dengan menggunakan metode yang biasa
digunakan dalam penelitian botani pertanian. Para ahli botani pertanian
mengadakan percobaan untuk mengetahui produktivitas bermacam-macam benih.
Percobaan serupa juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh tanah, pupuk
dan sebagainya terhadap produktivitas suatu macam benih.
Model eksperimen dalam
botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan, anak dapat disamakan dengan benih
sedangkan kurikulum serta berbagai fasilitas dan sistem sekolah dapat disamakan
dengan tanah dan pemeliharaannya. Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih
(anak) serta hasil yang dicapai pada akhir program percobaan dapat digunakan
dengan tes (pre test dan post test). Tes adalah teknik penelitian yang biasa
digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pencapaian suatu kompetensi
tertentu, melalui pengolahan secara kuantitatif yang hasilnya berbentuk angka.
Berdasarkan angka itulah selanjutnya ditafsirkan tingkat penguasaan kompetensi
siswa.
Salah satu
pendekatan dalam evaluasi yang menggunakan eksperimen lapangan adalah
mengadakan pembandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya yang
menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Rancangan penelitian lapangan ini
membutuhkan persiapan yang sangat teliti dan rinci. Besarnya sampel, variabel
yang terkontrol , hipotesis, treatment, tes hasil belajar dan sebagainya,
perlllu dirumuskan secara tepat dan rinci.
Ada beberpa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut,
yaitu :
1.
Kesulitan
administrative, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah
eksperimen.
2.
Masalah teknik dan
logis, yaitu kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk
kelompok-kelompok yang diuji.
3.
Sulit mencampurkan
guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol,
pengaruh guru-guru tesebut sulit dikontrol.
4.
Adanya keterbatasan
mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan.
B.
Evaluasi model objektif (tujuan)
Dalam model
objektif, evaluasi merupakan bagain yang sangat penting dari proses
pengembangan kurikulum. Para evaluator juga mempunyai peranan menghimpun
pendapat-pendapat orang luar tentang inovasi kurikulum yang dilaksanakan.
Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan
seperangkat tujuan khusus.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengembang model objektif :
1.
Adanya kesepakatan
tentang tujuan-tujuan kurikulum
2.
Merumuskan
tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa
3.
Menyususn materi
kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut
4.
Mengukur kesesuaian
antara perilaku siswa dengan hsil yang diinginkan
Pendekatan ini yang
digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam menyusun tes dengan titik tolak pada
perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan sistem (system approach).
Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya menyusun klasifikasi
sistem tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar (cognitive domain). Mereka
membagi proses mental yang berhubungan dengan belajar tersebut dalam 6
kategori, yaitu :
1.
Knowledge.
2.
Comprehension.
3.
Application.
4.
Analysis.
5.
Synthesis.
6.
Evaluation.
Dasar-dasar teori
Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum dan
mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem intruksional.
Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribed
Instruction). Suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research And
Development Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum
yang memiliki 7 unsur :
1.
Tujuan-tujuan pengajaran
yang disusun dalam daerah-daerah tingkat-tingkat dan unit-unit.
2.
Suatu Prosedur Program
Testing.
3.
Pedoman Prosedur
Penulisan.
4.
Materi Dan Alat
Pengajaran.
5.
Kegiatan Guru Dalam
Kelas.
6.
Kegiatan Murid Dalam
Kelas.
7.
Prosedur Pengelolaan
Kelas.
C.
Evaluasi campuran multivariasi
Evaluasi model
perbandingan dan model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran
multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsure-unsur dari kedua
pendekatan tersebut.
Seperti halnya pada
eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan Bloom, metode
tersebut masuk ke bidang kurikulum dari proyek evaluasi.
Metode-metode tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah computer dan program
paket berkembang yaitu tahun 1960.
Langkah – langkah model multivariasi tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Mencari sekolah yang
bersedia dievaluasi atau diteliti.
2.
Pelaksanaan program.
Bila tidak ada pencampuran sekolah tekanannya pada partisipasi yang optimal.
3.
Sementara tim menyusun
tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran umpamanya dengan metode
global dan metode unsure, dapat disiapkan tes tambahan.
4.
Bila semua informasi
yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan computer.
5.
Tipe analisis dapat
juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari bebrapa variabel yang
berbeda.
Beberapa ksesulitan yang dihadapi dalam model campuran
multivariasi tersebut, yaitu :
1.
Diharapkan memberi tes
yang signifikan.
2.
Terlalu banyaknya
variabel yang perlu dihitung pada suatu saat, kemampuan computer hanya sampai
pada 40 variabel sedangkan dengan model ini dapat dikumpulkan sampai 300
variabel
3.
Meskipun model
campuran multivariasi telah mengurangi masalah kontrol berkenaan dengan
eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah pembandingan.
D.
Model EPIC ( Evaluation Program for Innovative
Curriculums)
Model EPIC
menggambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Kubus tersebut
mempunyai tiga bidang, yaitu :
1.
Behavior (perlakuan)
yang menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective dan
psychomotor.
2.
Instruction
(pengajaran) yang meliputi organization, content, method, facilitiesand cost.
3.
Kelembagaan yang
meliputi student, teacher, administrator, educational specialist, family and
community.
E.
Model CIPP (Context, Input, Process dan
Product)
Model CIPP
(Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa
keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti :
1.
Karakteristik peserta
didik dan lingkungan.
2.
Tujuan program dan
peralatan yang digunakan.
3.
Prosedur dan mekanisme
pelaksanaan program itu sendiri.
Evaluasi model ini
bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program
dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan
judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini
kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat
dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat
dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program
pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut
adalah, sebagai berikut :
·
Context
Situasi
atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti :
kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin
dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang
dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
·
Input
Bahan,
peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti :
dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar,
sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
·
Process
Pelaksanaan
nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar
mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan
program, dan lain-lain.
·
Product
Keseluruhan
hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup jangka pendek dan jangka
lebih panjang.
F.
Model C – I – P – O – I
Model pendekatan
ini diadopsi dari CIPP-nya Daniel L. Stufflebeam (1971) yang menyatakan bahwa
evaluasi dapat membantu proses pengambilan keputusan dalam pengembangan
program. Model pendekatan ini terdiri dari :
1.
Context Evaluation (C)
Evaluasi untuk
menganalisa problem dan kebutuhan dalam suatu sistem. Kegiatan evaluasi
dimaksudkan untuk dilakukan dengan tidak melepaskan diri dari konteks yang
membentuk sistem itu sendiri dalam upaya pencapaian tujuan program.
2.
Inputs Evaluation (I)
Mengevaluasi
strategi dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan program. Hasil
input evaluation dapat membantu pengambil keputusan untuk memilih strategi dan
sumber terbaik dalam keterbatasan tertentu untuk mencapai tujuan program.
3.
Process Evaluation (P)
Evaluasi dilakukan
dengan maksud memonitor proses pelaksanaan program, apakah kegiatan berjalan
sesuai dengan perencanaan sehingga mengarah pada pencapaian tujuan program.
4.
Outputs Evaluation (O)
Evaluasi
dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh hasil yang diperoleh oleh
program yang telah dikembangkan. Tentu saja, hasilnya dapat digunakan untuk
mengambil keputusan apakah program diteruskan, diberhentikan atau secara total
diubah.
5.
Impacts Evaluation (I)
Evaluasi
dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program yang telah dikembangkan
memberikan dampak yang positif dalam jangka waktu yang lebih panjang.
G.
Model 3 P (Program – Proses – Produk)
Model pendekatan
ini merupakan model yang diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Raka Joni
(1981), esensi dari pendekatan evaluasi model ini, adalah sebagai berikut :
1.
Evaluasi Program
Merupakan evaluasi
yang lebih memfokuskan diri pada evaluasi perencanaan program, dengan demikian
evaluasi dilakukan sebelum program dilaksanakan untuk menetapkan rasional
kelompok sasaran (targetted groups) serta mengidentifikasi kebutuhan (needs
assessment) dan potensi yang ada padanya di samping mengkaji dibelakang meja
kesesuaian, perangkat kegiatan program dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan
untuk dicapai. Dengan demikian maka evaluasi perencanaan program merupakan
bagian integral dari pada pengembangan program.
2.
Evaluasi Proses
Evaluasi yang
cenderung mengarah pada bentuk monitoring yang dilakukan pada saat
kegiatan-kegiatan program berlangsung dan dimaksudkan untuk menjawab dua
kelompok pertanyaan : apakah kegiatan-kegiatan program dilakukan atau
diwujudkan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan di dalam desain program ?
apakah program secara efektif mencapai kelompok sasaran yang telah ditetapkan
?. Model evaluasi ini sangat penting untuk pengembangan program sebab tidak
dengan sendirinya pelaksanaan kegiatan-kegiatan program sesuai dengan tujuan
serta niat yang semula ditetapkan. Dalam bahasa analisis sistem, evaluasi ini
dinamakan evaluasi proses.
3.
Evaluasi Produk
Merupakan evaluasi
terhadap aspek hasil ditujukan kepada pencapaian tujuan program baik jangka
pendek (hasil antara), maupun jangka panjang (hasil akhir). Maka, yang hendak
dinilai adanya kesesuaian antara tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan
hasil-hasil yang diperoleh. Disamping itu hasil-hasil sampingan baik yang
dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki, dapat dideteksi melalui evaluasi
ini.
2.12 Proses Evaluasi
Kurikulum
Berbagai model
desain kurikulum memerlukan berbagai cara evaluasi yang berbeda pula. Evaluasi
model yang sering digunakan adalah desain tujuan. Evaluasi tersebut terdiri
atas langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Pelaksanan evaluasi
internal.
2.
Rancangan revisi.
3.
Pendapat ahli.
4.
Komentar yang dapat
dipercaya.
5.
Model kurikulum.
Dalam program
evaluasi tersebut masih terdapat perbedaan pendapat tentang apakah ahli yang
melaksanakan kurikulum harus ahli juga dalam bidang ilmu tersebut, ada pula
ahli yang mengemukakan empat langkah evaluasi kurikulum yang berfokus pada
tujuan yaitu :
1.
Evalusi internal
dilaksanakan oleh pengembang kurikulum dan berhubungan dengan model desain
kuikulum yang bertujuan untuk memperbaiki proses pengembangan kurikulum.
2.
Evaluasi formatif
adalah proses ketika pengembang kurikulum memperoleh data untuk memperbaiki dan
merevisi kurikulum agar menjadi lebih efektif.
3.
Evaluasi sumatif
bertujuan untuk memeriksa kurikulum dan diadakan setelah pelasanaan kurikulum
untuk memeriksa efesiensi secara keseluruhan.
4.
Evaluasi jangka
panjang.
2.13 Pentingnya
Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum
dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi
kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan
sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat
keputusan apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi
atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi
kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang
berubah.
Evaluasi kurikulum
dapat menyajikan bahan informasi mengenai area – area kelemahan kurikulum
sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih
baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya
dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga dapat menilai
kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau
tidak, yang dikenal evaluasi sumatif.
2.14 Peranan Evaluasi
Kurikulum
Evalusi kurikulum
dapat dilihat sebagai proses sosial dan intittusi sosial. Proyek-proyek
evaluasi yang dikembangkan di Inggris umpamanya, juga di Negara-negara lain,
merupakan intitusi sosial mempunyai asal usul, sejarah, struktur serta interest
sendiri. Beberpa karakteristik dari proyek-proyek kurikulum yang telah
dikembangkan di Inggris, umpamanya :
1.
Lebih berkenaan dengan
inovasi daripada dengan kurikulum yang ada.
2.
Lebih berskala
nasional daripada lokal.
3.
Dibiayai oleh grant
dari luar yang berjangka pendek daripada oleh anggapan tetap.
4.
Lebih banyak
dipengaruhi oleh kebiasaan penelitian yang bersifat psikomotorik daripada oleh
kebiasaan lama yang berupa penelitian sosial.
Peran evaluasi kebijaksaan dalam kurikulum khususnya pendidikan
umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu :
1.
Evaluasi sebagai moral
judgment
Konsep utama dalam
evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai
yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian,
pertama evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tersebut
suatu objek evaluasi dapat dinilai. Kedua, evaluasi berisi suatu prangkat
kriteria praktis berdasarkan kriteria-kriteria tersebut suatu hasil yang dapat
dinilai. Evaluasi kurikulum bukan merupakan konsep tunggal, minimal meliputi
dua kegiatan, Kegiatan yang pertama mengumpulkan informasi, mungkin juga
mengandung segi - segi nilai (terutama dalam memilih sumber informasi dan jenis
informasi yang dikumpulkan), tetapi belum menunjukkan suatu evaluasi. Dalam
kegiatan yang kedua, yaitu menentukan keputusan menunjukkan suatu evaluasi,
dasar perimbangan yang digunakan adalah suatu perangkat nilai-nilai.
Karena
masalah-masalah dan konsep-konsep dalam pendidikan selalu mengalami perkembangan,
maka pertalian antara informasi pendidikan yang diperoleh dengan keputusan yang
diambil tidak selalu sama, mengalami perkembangan pula. Perkembangan ini
terutama berkenaan dengan perkembangan atau perubahan nilai-nilai. Oleh karena
itu, salah satu tugas dari evaluator pendidikan mempelajari kerangka
nilai-nilai tersebut. Atas dasar nilai-nilai tersebut maka keputusan pendidikan
baru bisa diambil.
2.
Evaluasi dan penentuan
keputusan
Pada dasarnya
pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau khususnya kurikulum
sangat banyak, yaitu: guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur,
pengembang kurikulum dan sebagainya. Pada prinsipnya tiap individu tersebut
membuat keputusan sesuai dengan posisinya masing masing. Murid mengambil keputusan
sesuai dengan posisinya sebagai murid, guru mengambil keputusan sesuai dengan
posisinya menjadi guru. Besar atau kecilnya peranan keputusan yang diambil oleh
seseorang sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya serta lingkup masalah yang
dihadapinya pada suatu saat. Beberapa hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan
bagi murid untuk belajar lebih giat atau tidak.
Lain halnya dengan
keputusan yang diambil oleh seorang guru, ia mengambil keputusan untuk
kepentingan seorang atau seluruh murid. Demikianlah keputusan yang diambil
kepala sekolah dan sebagainya. Jadi, tiap pengambil keputusan dalam proses
evaluasi mempunyai posisi nilai yang berbeda.
Salah satu
kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan
keputusan adalah, hasil evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil
keputusan adalah sama. Masalah yang timbul adalah bahwa belum tentu keputusan
yang diambil bermanfaat bagi pihak lain, artinya suatu informasi mungkin lebih
bermanfaat bagi pihak tertentu tetapi belum tentu bermanfaat bagi pihak yang
lain.
3.
Evaluasi dan konsensus
nilai
Dalam berbagai
situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum, sejumlah
nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang turut terlibat atau berpartisipasi
dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para partisipan dalam evaluasi
pendidikan dapat terdiri atas : orang tua, murid, guru, pengembang kurikulum,
administrator, ahli politik, ahli ekonomi dan lain-lain.
Pernah dimimpikan
bahwa para partisipan tersebut merupakan suatu kelompok yang homogen sebagai
pengambil keputusan atas hasil penelitian, tetapi beberapa pengalaman
menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin. Mereka mempunyai sudut pandangan,
kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri. Bagaimana caranya agar di
antara mereka terdapat kesatuan penilaian, kesatuan penilaian hanya dapat
dicapai melalui suatu konsensus.
Secara historis
konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari tradisi tes mental serta
eksperimen. Konsensus tersebut berupa kerangka kerja penelitian yang dipusatkan
pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar yang bersifat
behavioral, penggunaan analisis statistic dari pre test dan post test dan
lain-lain. Model tersebut mendapatkan beberapa kritik tetapi kritik atau
kesulitan tersebut yang paling utama adalah dalam merumuskan tujuan-tujuan
khusus yang dapat diterima oleh seluruh partisipan evaluasi kurikulum serta
perencanaan kurikulum. Juga diantara partisipan harus ada persetujuan tentang
tujuan-tujuan yang paling penting.
Para partisipan
dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri atas: orang tua, murid, guru,
pemgembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit,
arsitek, dan sebagainnya. Pernah dimimpikan para partisipan tersebut merupakan
suatu kelompok yang homogen sebagai pengambil keputusan atas hasil penelitian,
tetapi beberapa pengalaman menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin. Mereka
mempunyai sudut pandang, kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri.
Kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus.
2.15 Evaluasi
Kurikulum pada Tingkat Makro dan Mikro
A. Evaluasi pada Tingkat Mikro
1.
Tujuan Evaluasi
Adanya sekurang-kurangnya dua tujuan
pokok yang ingin dicapai melalui kegiatan evaluasi kurikulum pada tingkay mikro
ini, yaitu :
·
Mengukur efek pengajaran
tujuan utama evaluasi program pada tingkat mikro adalah untuk memperoleh
gambaran tentang efek atau pengaruh dari pengajaran yang telah diberikan
terhadap penguasaan, kemampuan yang ingin dicapai dalam suatu mata ajaran. Efek
atau pengaruh tersebut dapat diketahui bila dilakukan perbadingan antara hasil
yang dicapai peserta didik sebelum dan sesudah pengajaran diberikan.
·
Memperbaiki
pengajaran, disamping untuk keperluan pengukuran efek atau pengaruh pengajaran
evaluasi program tingkat mikro bertujuan pula untuk memperoleh gambaran ataupun
informasi tentang bagian-bagian pelajaran yang masih belum dipahami oleh para
peserta didik.
2.
Jenis-Jenis Evaluasi
·
Evaluasi awal di
lakukan sebelum pengajaran diberikan
Fungsinya ialah
untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik tentang pelajaran yang akan
diberikan.
·
Evaluasi antara
Dilakukan pada
setiap unit bahan yang diberikan dalam suatu mata pelajaran, dapat berbentuk
tes dan bentuk-bentuk evaluasi yang lain tentang unit yang bersangkutan.
·
Evaluasi akhir dilakukan
setelah pengajaran diberikan
Fungsinya ialah
untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan yang dicapai peserta didik pada
akhir program.
B.
Evaluasi Kurikulum
pada Tinkat Makro
1.
Tujuan Evaluasi
Evaluasi kurikulum pada tingkat makro
dilakukan untuk menghasilkan masukan-masukan yang diperlukan bagi penyusunan
dan perbaikan :
·
Tujuan dan program
kurikulum
·
Bahan dan pertalatan /
fasilitas pendidikan
2.
Jenis Evaluasi
Untuk
mencapai tujuan evaluasi ada 4 jenis evaluasi yang perlu dilakukan :
·
Evaluasi Konteks
Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi yang
diperlukan dalam perencanaan program, khususnya dalam Penentuan tujuan dan
program kuriklum diklat.
·
Evaluasi Masukan
Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi yang
diperlukan dalam penyiapan dan perbaikan peralatan pendidikan yang meliputi
bahan ajar, sarana / alat penunjang media pengajaran setiap pengajar, dan
sebagainya.
·
Evaluasi Proses /
Hasil Jangka Pendek
Informasi untuk keperluan perbaikan program dan pelaksanaan
pendidikan mencakup baik informasi tentang proses maupun hasil jangka pendek
yang dicapai peserta didik selama dan pada akhir setiap unit program.
·
Evaluasi Dampak /
Hasil Jangka Panjang
Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi yang
diperlukan bagi peninjauan kembali keseluruhan program pendidikan dan penentu
kegiatan tindak lanjut yang diperlukan termasuk perbaikan kurikulum pada siklus
/ putaran hidup.
2.16 Ujian Sebagai
Evaluasi Sosial
Sejak
diperkenalkanya system ujian atau tes untuk umum di Amerika Serikat dan
negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum ( Publik ) tersebut
merupakan salah satu model dalam pendidikan menguji adalah mengevaluasikan
dengan adanya ujian-ujian tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu
dipandang menunjukan status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan lainnya,
keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolistik, selama
bertahun-tahun di tentukan oleh kemampuan mengingat fakta-fakta kecenderungan
ini bukan saja di dasari oleh teori psikologi lama, yang memandang bahwa otak
yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih banyak, tetapi juga oleh keadaan
masyarakat dimana buku-buku sumber pengetahuan secara relatif tidak berubah
selama 2 abad. Ujian bukan saja menunjukan nilai pengetahuan atau kemampuan
sosial, tetapi juga peraturan dari sekolah. Dalam dua decade pertama dari abad
20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu komisi untuk menyusun tes
kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk menyeleksi anak-anak yang akan masuk ke
sekolah menengah yang tidak mampu membayar uang sekolah. Kemudian tes tersebut
juga digunakan barometer penentuan kenaikan kelas, system ujian seperti yang
dilakukan di atas, lebih banyak digunakan untuk mengukur atau menguji kemampuan
individu kalau untuk mengukur kemampuan siswa digunakan istilah Examination
atau Asesment maka untuk penilain keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum
lebih tepat digunakan istilah Evaluation.
Para evaluator
menyadari bahwa aneka macam kerangka kerja evaluasi mempunyai implikasi
terhadap penentuan keputusan pendidikan. Barry Mc Donald ( 1975 ) membedakan
adanya tiga tipe evaluasi dalam pendidikan dan kurikulum yaitu :
1.
Evaluasi Birokratik
Merupakan suatu layanan yang bersifat unconditional terhadap
lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang kontrol terbesar dalam
alokasi sumber-sumber pendidikan.
2.
Evaluasi Otoraktik
Merupakan layanan evaluasi terhadap lembaga-lembaga pemerintah
yang mempunyai wewenang kontrol cukup besar dalam mengalokasikan sumber-sumber
pendidikan.
3.
Evaluasi Demokrasi
Merupakan layanan pembesaran informasi terhadap masyarakat,
tentang program-program pendidikan.
Sebagai contoh Mc Donald memandang bahwa
pelaksanaan evaluasi di Amerika Serikat dewasa ini bersifat birokratik karena
kenyataanya evaluasi dasar di percayai oleh pemerintah pusat atau negara
bagian, kedudukan evaluator berbeda-beda di bawah lembaga-lembaga federal.
2.17 Masalah dalam
Evaluasi Kurikulum
Norman dan Schmidt
2002 mengemukakan ada beberapa kesulitan dalam penerapan evaluasi kurikulum,
yaitu :
1.
Kesulitan dalam pengukuran.
2.
Kesulitan dalan
penerapan randomisasi dan double blind.
3.
Kesulitan dalam
menstandarkan intervensi dalam pendidikan.
4.
Pengaruh intervensi
dalam pendidikan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain sehingga pengaruh
intervensi tersebut seakan-akan lemah.
Penulis mencoba menganalisa masalah yang dihadapi dalam
melakukan evaluasi kurikulum, yaitu :
1.
Dasar teori yang
digunakan dalam evaluasi kurikulum lemah.
Dasar teori yang
melatarbelakangi kurikulum lemah akan mempengaruhi evaluasi kurikulum tersebut.
Ketidakcukupan teori dalam mendukung penjelasan terhadap hasil intervensi
suatu kurikulum yang dievaluasi akan membuat penelitian (evaluasi kurikulum)
tidak baik. Teori akan membantu memahami kompleksitas lingkungan pendidikan
yang akan dievaluasi. Contohnya Colliver mengkritisi bahwa Problem Based
Learning (PBL) tidak cukup hanya menggunakan teori kontekstual learning untuk
menjelaskan efektivitas PBL. Kritisi ini ditanggapi oleh Albanese dengan
mengemukakan teori lain yang mendukung PBL yaitu, information-processing
theory, complex learning, self determination theory. Schdmit membantah bahwa
sebenarnya bukan teorinya yang lemah akan tetapi kesalahan terletak kepada
peneliti tersebut dalam memahami dan menerapkan teori tersebut dalam
penelitian.
2.
Intervensi pendidikan
yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan Blinded.
Dalam penelitian
pendidikan khususnya penelitian evaluasi kurikulum, ditemukan kesulitan dalam
menerapkan metode blinded dalam melakukan intervensi pendidikan. Dengan tidak
adanya blinded maka subjek penelitian mengetahui bahwa mereka mendapat
intervensi atau perlakuan sehingga mereka akan melakukan dengan serius atau
sungguh-sungguh. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam penelitian
evaluasi kurikulum.
3.
Kesulitan dalam
melakukan randomisasi.
Kesulitan melakukan
penelitian evaluasi kurikulum dengan metode randomisasi dapat disebabkan karena
subjek penelitian yang akan diteliti sedikit atau kemungkinan hanya institusi
itu sendiri yang melakukannya. Apabila intervensi yang digunakan hanya pada
institusi tersebut maka timbul pertanyaan, “apakah mungkin mencari
kelompok kontrol dan randomisasi?”.
4.
Kesulitan dalam
menstandarkan intervensi yang dilakukan/kesulitan dalam menseragamkan
intervensi.
Dalam dunia
pendidikan sulit sekali untuk menseragamkan sebuah perlakuan cotohnya penerapan
PBL yang mana memiliki berbagai macam pola penerapan. Norman (2002)
mengemukakan tidak ada dosis yang standar atau fixed dalam intervensi
pedidikan. Hal ini berbeda untuk penelitian di biomed seperti pengaruh obat
terhadap suatu penyakit, yang mana dapat ditentukan dosis yang fixed. Berbeda
dengan penelitian evaluasi kurikulum misalnya pengaruh PBL terhadap kemamuan
Self Directed Learning (SDL). Penerapan PBL di berbagai FK dapat
bermacam-macam. Kemungkinan penerapan SDL dalam PBL di FK A 50% , sedangkan di
FK B adalah 70% , maka apabila mereka dijadikan subjek penelitian maka tentu
saja pengaruh PBL terhadap SDL akan berbeda.
5.
Masalah etika
penelitian.
Masalah etika
penelitian merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Penerapan intervensi
dengan metode blinded dalam penelitian pendidikan sering terhalang dengan isu
etika. Secara etika intervensi tersebut harus dijelaskan kepada subjek
penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Padahal apabila suatu intervensi
diketahui oleh subjek penelitian maka ada kecendrungan subjek penelitian
melakukan dengan sungguh-sungguh sehingga penelitian tidak berjalan secara
alamiah.Pengaruh hasil penelitian terhadap institusi juga perlu
dipertimbangkan. Adanya prediksi nantinya pengaruh hasil penelitian yang akan
menentang kebijaksanaan institusi dapat mengkibatkan kadangkala peneliti
menghindari resiko ini dengan cara menghilangkan salah satu variable dengan
harapan hasil penelitian tidak akan menentang kebijaksanaan.
6.
Tidak adanya pure
outcome.
Outcome yang
dihasilkan dari sebuah intervensi pendidikan seringkali tidak merupakan outcome
murni dari intervensi tersebut. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor
penganggu yang mana secara tidak langsung berhubungan dengan hasil penelitian.
Postner dan Rudnitsky, 1994 juga mengemukakan dalam outcome based evaluation
terdapat informasi mengenai main effect dan side effect sehingga kadangkala
peneliti kesulitan membedakan atara main effect dan side effect ini.
7.
Kesulitan mencari alat
ukur.
Evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang
tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak
semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan
yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan
dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur
setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil
pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
8.
Penggunaan perspektif
kurikulum yang berbeda sebagai pembanding.
Postner
mengemukakan ada lima perspektif dalam kurikulum yaitu traditional,
experiential, Behavioral, structure of discipline dan constructivist.
Masing-masing perspektif ini memiliki tujuannya masing-masing. Dalam melakukan
evaluasi kurikulum kita harus mengetahui perspektif kurikulum yang akan
dievaluasi dan perspektif kurikulum pembanding. Hal ini sering terlihat dalam
evaluasi kurikulum dengan menggunakan metode comparative outcome based yang
bila tidak memperhatikan masalah ini akan melahirkan bias dalam evaluasi.
Kurikulum dengan perspektif tradisional tentu saja berlainan dengan kurikulum
yang memiliki perspektif konstruktivist. Contoh kurikulum tradisional
menekankan pada recall of knowledge sedangkan kurikulum konstruktivist
menekankan pada konsep dasar dan ketrampilan berpikir. Apabila ada penelitian
yang menghasilkan bahwa kurikulum tradisional di pendidikan dokter lebih baik
dalam hal knowledge dibandingkan dengan PBL hal ini tentu saja dapat dimengerti
karena perspektifnya berbeda. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan
kurikulum yang perspektifnya berbeda ini seringkali menjadi kritikan oleh para
ahli.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Akademik
dan Kemahasiswaan. 2003. Buku II–Kurikulum Program Studi.
Sanjaya, Wina. 2008.
Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Kencana Prenada Media Group.
Sukmadinata, Nana
Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikulum. Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja
Rosda Karya.
Posner, G.J. 2004.
Analyzing The Curriculum. Mc Graw Hill. United States.
Amin, Z.E., Eng, K.H.
2003. Basics in Medical Education. World Scientific. Singapore.
Dolman, D. 2003. The
effectiveness of PBL : the debate continous. Some concerns about the BEME
movement. Medical Education 2003;37:1129-1130.
Farrow, R. The
effectiveness of PBL: the debate continues. Is meta analysis helpful? Medical
Education 2003;37:1131-1132.
Norman, G.R, Schdmidt
H.G. Effectiveness of problem based learning curricula: theory, practice and
paper darts. Medical Education 2000;34:721-728.
Albanese, M. Problem
based learning: why curricula are likely to show little effect on knowledge and
clinical skills. Medical Education 2000;34:729-738.
Lindeman, M. 2007.
Program Evaluation. Online. http://www.tedi.uq.edu.au/conferences/A_conf/papers/Isaacs.html. Diakses pada tanggal 3 July 2007.
Silver, H. 2004.
Evaluation Research in Education. Online. http://outh.ac.uk/resined/evaluation/index.htm. Diakses pada tanggal 3 July 2007.
Trochim, W.M.K. 2006.
Introduction to Evaluation. Online. http://www.socialresearchmethods.net/kb/intreval.php. Diakses pada tanggal 3 July 2007.
DR. Zulharman, M. Med.
Ed. 2007. Evaluasi Kurikulum : Pengertian, Kepentingan, dan Masalah yang
Dihadapi. Online. http://zulharman79.wordpress.com/2007/08/04/evaluasi-kurikulum-pengertian-kepentingan-dan-masalah-yang-dihadapi/. Diakses pada tanggal 17 April 2012.
WebRepOverall
rating
0 komentar:
Posting Komentar