3 Nov 2012

Evaluasi Kurikulum Part 2 [Topik 10]


2.11     Model – Model Evaluasi Kurikulum
A.     Evaluasi model penelitian 
       Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan metode tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes psikologis atau tes psikometrik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes intelegensi yang ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan serta hasil belajar yang mengukur perilaku skolastik.
       Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai pada tahun 1930, dengan menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian. Para ahli botani pertanian mengadakan percobaan untuk mengetahui produktivitas bermacam-macam benih. Percobaan serupa juga dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh tanah, pupuk dan sebagainya terhadap produktivitas suatu macam benih.
      Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan, anak dapat disamakan dengan benih sedangkan kurikulum serta berbagai fasilitas dan sistem sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya. Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil yang dicapai pada akhir program percobaan dapat digunakan dengan tes (pre test dan post test). Tes adalah teknik penelitian yang biasa digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pencapaian suatu kompetensi tertentu, melalui pengolahan secara kuantitatif yang hasilnya berbentuk angka. Berdasarkan angka itulah selanjutnya ditafsirkan tingkat penguasaan kompetensi siswa.

       Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang menggunakan eksperimen lapangan adalah mengadakan  pembandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Rancangan penelitian lapangan ini membutuhkan persiapan yang sangat teliti dan rinci. Besarnya sampel, variabel yang terkontrol , hipotesis, treatment, tes hasil belajar dan sebagainya, perlllu dirumuskan secara tepat dan rinci.
Ada beberpa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut, yaitu :
1.     Kesulitan administrative, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah eksperimen.
2.     Masalah teknik dan logis, yaitu kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok-kelompok yang diuji.
3.     Sulit mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, pengaruh guru-guru tesebut sulit dikontrol.
4.     Adanya keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan.

B.     Evaluasi model objektif (tujuan)
       Dalam model objektif, evaluasi merupakan bagain yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum. Para evaluator juga mempunyai peranan menghimpun pendapat-pendapat orang luar tentang inovasi kurikulum yang dilaksanakan. Kurikulum tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat tujuan khusus.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengembang model objektif :
1.     Adanya kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum
2.     Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa
3.     Menyususn materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut
4.     Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hsil yang diinginkan

       Pendekatan ini yang digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam menyusun tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan sistem (system approach). Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya menyusun klasifikasi sistem tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar (cognitive domain). Mereka membagi proses mental yang berhubungan dengan belajar tersebut dalam 6 kategori, yaitu :
1.     Knowledge.
2.     Comprehension.
3.     Application.
4.     Analysis.
5.     Synthesis.
6.     Evaluation.

       Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem intruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribed Instruction). Suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research And Development Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur :
1.     Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah tingkat-tingkat dan unit-unit.
2.     Suatu Prosedur Program Testing.
3.     Pedoman Prosedur Penulisan.
4.     Materi Dan Alat Pengajaran.
5.     Kegiatan Guru Dalam Kelas.
6.     Kegiatan Murid Dalam Kelas.
7.     Prosedur Pengelolaan Kelas.


C.     Evaluasi campuran multivariasi
       Evaluasi model perbandingan dan model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsure-unsur dari kedua pendekatan tersebut.
       Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan Bloom, metode tersebut  masuk ke bidang kurikulum  dari proyek evaluasi. Metode-metode tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah computer dan program paket berkembang yaitu tahun 1960.
Langkah – langkah model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut :
1.     Mencari sekolah yang bersedia dievaluasi atau diteliti.
2.     Pelaksanaan program. Bila tidak ada pencampuran sekolah tekanannya pada partisipasi yang optimal.
3.     Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran umpamanya dengan metode global dan metode unsure, dapat disiapkan tes tambahan.
4.     Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan computer.
5.     Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari bebrapa variabel yang berbeda.

Beberapa ksesulitan yang dihadapi dalam model campuran multivariasi tersebut, yaitu :
1.     Diharapkan memberi tes yang signifikan. 
2.     Terlalu banyaknya variabel yang perlu dihitung pada suatu saat, kemampuan computer hanya sampai pada 40 variabel sedangkan dengan model ini dapat dikumpulkan sampai 300 variabel
3.     Meskipun model campuran multivariasi telah mengurangi masalah kontrol berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah pembandingan.  


D.     Model EPIC ( Evaluation Program for Innovative Curriculums)
       Model EPIC menggambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Kubus tersebut mempunyai tiga bidang, yaitu :
1.     Behavior (perlakuan) yang menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective dan psychomotor.
2.     Instruction (pengajaran) yang meliputi organization, content, method, facilitiesand cost.
3.     Kelembagaan yang meliputi student, teacher, administrator, educational specialist, family and community.


E.     Model CIPP (Context, Input, Process dan Product)
       Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti :
1.     Karakteristik peserta didik dan lingkungan.
2.     Tujuan program dan peralatan yang digunakan.
3.     Prosedur dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri.
       Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai berikut :
·          Context
       Situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan, seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
·          Input
       Bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti : dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar, sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
·          Process
       Pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi : pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
·          Product
       Keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup jangka pendek dan jangka lebih panjang.


F.     Model C – I – P – O – I
       Model pendekatan ini diadopsi dari CIPP-nya Daniel L. Stufflebeam (1971) yang menyatakan bahwa evaluasi dapat membantu proses pengambilan keputusan dalam pengembangan program. Model pendekatan ini terdiri dari :
1.     Context Evaluation (C)
       Evaluasi untuk menganalisa problem dan kebutuhan dalam suatu sistem. Kegiatan evaluasi dimaksudkan untuk dilakukan dengan tidak melepaskan diri dari konteks yang membentuk sistem itu sendiri dalam upaya pencapaian tujuan program.

2.     Inputs Evaluation (I)
       Mengevaluasi strategi dan sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan program. Hasil input evaluation dapat membantu pengambil keputusan untuk memilih strategi dan sumber terbaik dalam keterbatasan tertentu untuk mencapai tujuan program.

3.     Process Evaluation (P)
       Evaluasi dilakukan dengan maksud memonitor proses pelaksanaan program, apakah kegiatan berjalan sesuai dengan perencanaan sehingga mengarah pada pencapaian tujuan program.

4.     Outputs Evaluation (O)
       Evaluasi dimaksudkan untuk mengukur sampai seberapa jauh hasil yang diperoleh oleh program yang telah dikembangkan. Tentu saja, hasilnya dapat digunakan untuk mengambil keputusan apakah program diteruskan, diberhentikan atau secara total diubah.

5.     Impacts Evaluation (I)
       Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program yang telah dikembangkan memberikan dampak yang positif dalam jangka waktu yang lebih panjang.


G.     Model 3 P (Program – Proses – Produk)
       Model pendekatan ini merupakan model yang diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Raka Joni (1981), esensi dari pendekatan evaluasi model ini, adalah sebagai berikut :
1.     Evaluasi Program
       Merupakan evaluasi yang lebih memfokuskan diri pada evaluasi perencanaan program, dengan demikian evaluasi dilakukan sebelum program dilaksanakan untuk menetapkan rasional kelompok sasaran (targetted groups) serta mengidentifikasi kebutuhan (needs assessment) dan potensi yang ada padanya di samping mengkaji dibelakang meja kesesuaian, perangkat kegiatan program dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan untuk dicapai. Dengan demikian maka evaluasi perencanaan program merupakan bagian integral dari pada pengembangan program.

2.     Evaluasi Proses
       Evaluasi yang cenderung mengarah pada bentuk monitoring yang dilakukan pada saat kegiatan-kegiatan program berlangsung dan dimaksudkan untuk menjawab dua kelompok pertanyaan : apakah kegiatan-kegiatan program dilakukan atau diwujudkan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan di dalam desain program ? apakah program secara efektif mencapai kelompok sasaran yang telah ditetapkan ?. Model evaluasi ini sangat penting untuk pengembangan program sebab tidak dengan sendirinya pelaksanaan kegiatan-kegiatan program sesuai dengan tujuan serta niat yang semula ditetapkan. Dalam bahasa analisis sistem, evaluasi ini dinamakan evaluasi proses.

3.     Evaluasi Produk
       Merupakan evaluasi terhadap aspek hasil ditujukan kepada pencapaian tujuan program baik jangka pendek (hasil antara), maupun jangka panjang (hasil akhir). Maka, yang hendak dinilai adanya kesesuaian antara tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan hasil-hasil yang diperoleh. Disamping itu hasil-hasil sampingan baik yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki, dapat dideteksi melalui evaluasi ini.


2.12     Proses Evaluasi Kurikulum
       Berbagai model desain kurikulum memerlukan berbagai cara evaluasi yang berbeda pula. Evaluasi model yang sering digunakan adalah desain tujuan. Evaluasi tersebut terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut : 
1.     Pelaksanan evaluasi internal.
2.     Rancangan revisi.
3.     Pendapat ahli.
4.     Komentar yang dapat dipercaya.
5.     Model kurikulum.

       Dalam program evaluasi tersebut masih terdapat perbedaan pendapat tentang apakah ahli yang melaksanakan kurikulum harus ahli juga dalam bidang ilmu tersebut, ada pula ahli yang mengemukakan empat langkah evaluasi kurikulum yang berfokus pada tujuan yaitu :
1.     Evalusi internal dilaksanakan oleh pengembang kurikulum dan berhubungan dengan model desain kuikulum yang bertujuan untuk memperbaiki proses pengembangan kurikulum.
2.     Evaluasi formatif adalah proses ketika pengembang kurikulum memperoleh data untuk memperbaiki dan merevisi kurikulum agar menjadi lebih efektif.
3.     Evaluasi sumatif bertujuan untuk memeriksa kurikulum dan diadakan setelah pelasanaan kurikulum untuk memeriksa efesiensi secara keseluruhan.
4.     Evaluasi jangka panjang.


2.13     Pentingnya Evaluasi Kurikulum
       Evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi  kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan  apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang berubah.
       Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area – area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga dapat  menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif.


2.14     Peranan Evaluasi Kurikulum
       Evalusi kurikulum dapat dilihat sebagai proses sosial dan intittusi sosial. Proyek-proyek evaluasi yang dikembangkan di Inggris umpamanya, juga di Negara-negara lain, merupakan intitusi sosial mempunyai asal usul, sejarah, struktur serta interest sendiri. Beberpa karakteristik dari proyek-proyek kurikulum yang telah dikembangkan di Inggris, umpamanya :
1.     Lebih berkenaan dengan inovasi daripada dengan kurikulum yang ada.
2.     Lebih berskala nasional daripada lokal.
3.     Dibiayai oleh grant dari luar yang berjangka pendek daripada oleh anggapan tetap.
4.     Lebih banyak dipengaruhi oleh kebiasaan penelitian yang bersifat psikomotorik daripada oleh kebiasaan lama yang berupa penelitian sosial.

Peran evaluasi kebijaksaan dalam kurikulum khususnya pendidikan umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu :
1.     Evaluasi sebagai moral judgment
       Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian, pertama evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai. Kedua, evaluasi berisi suatu prangkat kriteria praktis berdasarkan kriteria-kriteria tersebut suatu hasil yang dapat dinilai. Evaluasi kurikulum bukan merupakan konsep tunggal, minimal meliputi dua kegiatan, Kegiatan yang pertama mengumpulkan informasi, mungkin juga mengandung segi - segi nilai (terutama dalam memilih sumber informasi dan jenis informasi yang dikumpulkan), tetapi belum menunjukkan suatu evaluasi. Dalam kegiatan yang kedua, yaitu menentukan keputusan menunjukkan suatu evaluasi, dasar perimbangan yang digunakan adalah suatu perangkat nilai-nilai.
       Karena masalah-masalah dan konsep-konsep dalam pendidikan selalu mengalami perkembangan, maka pertalian antara informasi pendidikan yang diperoleh dengan keputusan yang diambil tidak selalu sama, mengalami perkembangan pula. Perkembangan ini terutama berkenaan dengan perkembangan atau perubahan nilai-nilai. Oleh karena itu, salah satu tugas dari evaluator pendidikan mempelajari kerangka nilai-nilai tersebut. Atas dasar nilai-nilai tersebut maka keputusan pendidikan baru bisa diambil.

2.     Evaluasi dan penentuan keputusan
       Pada dasarnya pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau khususnya kurikulum sangat banyak, yaitu: guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembang kurikulum dan sebagainya. Pada prinsipnya tiap individu tersebut membuat keputusan sesuai dengan posisinya masing masing. Murid mengambil keputusan sesuai dengan posisinya sebagai murid, guru mengambil keputusan sesuai dengan posisinya menjadi guru. Besar atau kecilnya peranan keputusan yang diambil oleh seseorang sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya serta lingkup masalah yang dihadapinya pada suatu saat. Beberapa hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan bagi murid untuk belajar lebih giat atau tidak.
       Lain halnya dengan keputusan yang diambil oleh seorang guru, ia mengambil keputusan untuk kepentingan seorang atau seluruh murid. Demikianlah keputusan yang diambil kepala sekolah dan sebagainya. Jadi, tiap pengambil keputusan dalam proses evaluasi mempunyai posisi nilai yang berbeda.
       Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan keputusan adalah, hasil evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil keputusan adalah sama. Masalah yang timbul adalah bahwa belum tentu keputusan yang diambil bermanfaat bagi pihak lain, artinya suatu informasi mungkin lebih bermanfaat bagi pihak tertentu tetapi belum tentu bermanfaat bagi pihak yang lain.

3.     Evaluasi dan konsensus nilai
       Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum, sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang turut terlibat atau berpartisipasi dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri atas : orang tua, murid, guru, pengembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi dan lain-lain.
       Pernah dimimpikan bahwa para partisipan tersebut merupakan suatu kelompok yang homogen sebagai pengambil keputusan atas hasil penelitian, tetapi beberapa pengalaman menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin. Mereka mempunyai sudut pandangan, kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri. Bagaimana caranya agar di antara mereka terdapat kesatuan penilaian, kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus.
       Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari tradisi tes mental serta eksperimen. Konsensus tersebut berupa kerangka kerja penelitian yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar yang bersifat behavioral, penggunaan analisis statistic dari pre test dan post test dan lain-lain. Model tersebut mendapatkan beberapa kritik tetapi kritik atau kesulitan tersebut yang paling utama adalah dalam merumuskan tujuan-tujuan khusus yang dapat diterima oleh seluruh partisipan evaluasi kurikulum serta perencanaan kurikulum. Juga diantara partisipan harus ada persetujuan tentang tujuan-tujuan yang paling penting.
       Para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri atas: orang tua, murid, guru, pemgembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit, arsitek, dan sebagainnya. Pernah dimimpikan para partisipan tersebut merupakan suatu kelompok yang homogen sebagai pengambil keputusan atas hasil penelitian, tetapi beberapa pengalaman menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin. Mereka mempunyai sudut pandang, kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri. Kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus.


2.15     Evaluasi Kurikulum pada Tingkat Makro dan Mikro
A.     Evaluasi pada Tingkat Mikro 
1.     Tujuan Evaluasi
       Adanya sekurang-kurangnya dua tujuan pokok yang ingin dicapai melalui kegiatan evaluasi kurikulum pada tingkay mikro ini, yaitu :
·          Mengukur efek pengajaran tujuan utama evaluasi program pada tingkat mikro adalah untuk memperoleh gambaran tentang efek atau pengaruh dari pengajaran yang telah diberikan terhadap penguasaan, kemampuan yang ingin dicapai dalam suatu mata ajaran. Efek atau pengaruh tersebut dapat diketahui bila dilakukan perbadingan antara hasil yang dicapai peserta didik sebelum dan sesudah pengajaran diberikan.
·          Memperbaiki pengajaran, disamping untuk keperluan pengukuran efek atau pengaruh pengajaran evaluasi program tingkat mikro bertujuan pula untuk memperoleh gambaran ataupun informasi tentang bagian-bagian pelajaran yang masih belum dipahami oleh para peserta didik.

2.     Jenis-Jenis Evaluasi
·          Evaluasi awal di lakukan sebelum pengajaran diberikan
       Fungsinya ialah untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik tentang pelajaran yang akan diberikan.
·          Evaluasi antara
       Dilakukan pada setiap unit bahan yang diberikan dalam suatu mata pelajaran, dapat berbentuk tes dan bentuk-bentuk evaluasi yang lain tentang unit yang bersangkutan.
·          Evaluasi akhir dilakukan setelah pengajaran diberikan
       Fungsinya ialah untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan yang dicapai peserta didik pada akhir program.

B.     Evaluasi Kurikulum pada Tinkat Makro
1.     Tujuan Evaluasi
       Evaluasi kurikulum pada tingkat makro dilakukan untuk menghasilkan masukan-masukan yang diperlukan bagi penyusunan dan perbaikan :
·          Tujuan dan program kurikulum
·          Bahan dan pertalatan / fasilitas pendidikan

2.     Jenis Evaluasi
Untuk mencapai tujuan evaluasi ada 4 jenis evaluasi yang perlu dilakukan :
·          Evaluasi Konteks
Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalam perencanaan program, khususnya dalam Penentuan tujuan dan program kuriklum diklat.
·          Evaluasi Masukan
Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi yang diperlukan dalam penyiapan dan perbaikan peralatan pendidikan yang meliputi bahan ajar, sarana / alat penunjang media pengajaran setiap pengajar, dan sebagainya.
·          Evaluasi Proses / Hasil Jangka Pendek
Informasi untuk keperluan perbaikan program dan pelaksanaan pendidikan mencakup baik informasi tentang proses maupun hasil jangka pendek yang dicapai peserta didik selama dan pada akhir setiap unit program.
·          Evaluasi Dampak / Hasil Jangka Panjang
Evaluasi ini diadakan untuk menghasilkan informasi yang diperlukan bagi peninjauan kembali keseluruhan program pendidikan dan penentu kegiatan tindak lanjut yang diperlukan termasuk perbaikan kurikulum pada siklus / putaran hidup.

2.16     Ujian Sebagai Evaluasi Sosial
       Sejak diperkenalkanya system ujian atau tes untuk umum di Amerika Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum ( Publik ) tersebut merupakan salah satu model dalam pendidikan menguji adalah mengevaluasikan dengan adanya ujian-ujian tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukan status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan lainnya, keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolistik, selama bertahun-tahun di tentukan oleh kemampuan mengingat fakta-fakta kecenderungan ini bukan saja di dasari oleh teori psikologi lama, yang memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih banyak, tetapi juga oleh keadaan masyarakat dimana buku-buku sumber pengetahuan secara relatif tidak berubah selama 2 abad. Ujian bukan saja menunjukan nilai pengetahuan atau kemampuan sosial, tetapi juga peraturan dari sekolah. Dalam dua decade pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu komisi untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk menyeleksi anak-anak yang akan masuk ke sekolah menengah yang tidak mampu membayar uang sekolah. Kemudian tes tersebut juga digunakan barometer penentuan kenaikan kelas, system ujian seperti yang dilakukan di atas, lebih banyak digunakan untuk mengukur atau menguji kemampuan individu kalau untuk mengukur kemampuan siswa digunakan istilah Examination atau Asesment maka untuk penilain keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum lebih tepat digunakan istilah Evaluation.
       Para evaluator menyadari bahwa aneka macam kerangka kerja evaluasi mempunyai implikasi terhadap penentuan keputusan pendidikan. Barry Mc Donald ( 1975 ) membedakan adanya tiga tipe evaluasi dalam pendidikan dan kurikulum yaitu :
1.     Evaluasi Birokratik
Merupakan suatu layanan yang bersifat unconditional terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang kontrol terbesar dalam alokasi sumber-sumber pendidikan.
2.     Evaluasi Otoraktik
Merupakan layanan evaluasi terhadap lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang kontrol cukup besar dalam mengalokasikan sumber-sumber pendidikan.
3.     Evaluasi Demokrasi
Merupakan layanan pembesaran informasi terhadap masyarakat, tentang program-program pendidikan.

       Sebagai contoh Mc Donald memandang bahwa pelaksanaan evaluasi di Amerika Serikat dewasa ini bersifat birokratik karena kenyataanya evaluasi dasar di percayai oleh pemerintah pusat atau negara bagian, kedudukan evaluator berbeda-beda di bawah lembaga-lembaga federal.


2.17     Masalah dalam Evaluasi Kurikulum
       Norman dan Schmidt 2002 mengemukakan ada beberapa kesulitan dalam penerapan evaluasi kurikulum, yaitu :
1.     Kesulitan dalam pengukuran.
2.     Kesulitan dalan penerapan randomisasi dan double blind.
3.     Kesulitan dalam menstandarkan  intervensi dalam pendidikan.
4.     Pengaruh intervensi dalam pendidikan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain sehingga pengaruh intervensi tersebut seakan-akan lemah.

Penulis mencoba menganalisa masalah yang dihadapi dalam melakukan evaluasi kurikulum, yaitu :
1.     Dasar teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemah.
       Dasar teori yang melatarbelakangi kurikulum lemah akan mempengaruhi evaluasi kurikulum tersebut. Ketidakcukupan teori dalam mendukung penjelasan terhadap hasil intervensi  suatu kurikulum yang dievaluasi akan membuat penelitian (evaluasi kurikulum) tidak baik. Teori akan membantu memahami kompleksitas lingkungan pendidikan yang akan dievaluasi. Contohnya Colliver mengkritisi bahwa Problem Based Learning (PBL) tidak cukup hanya menggunakan teori kontekstual learning untuk menjelaskan efektivitas PBL. Kritisi ini ditanggapi oleh Albanese dengan mengemukakan teori lain yang mendukung PBL yaitu, information-processing theory, complex learning, self determination theory. Schdmit membantah bahwa sebenarnya bukan teorinya yang lemah akan tetapi kesalahan terletak kepada peneliti tersebut dalam memahami dan menerapkan teori tersebut dalam penelitian.

2.     Intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan Blinded.
       Dalam penelitian pendidikan khususnya penelitian evaluasi kurikulum, ditemukan kesulitan dalam menerapkan metode blinded dalam melakukan intervensi pendidikan. Dengan tidak adanya blinded maka subjek penelitian mengetahui bahwa mereka mendapat intervensi atau perlakuan sehingga mereka akan melakukan dengan serius atau sungguh-sungguh. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam penelitian evaluasi kurikulum.

3.     Kesulitan dalam melakukan randomisasi.
       Kesulitan melakukan penelitian evaluasi kurikulum dengan metode randomisasi dapat disebabkan karena subjek penelitian yang akan diteliti sedikit atau kemungkinan hanya institusi itu sendiri yang melakukannya. Apabila intervensi yang digunakan hanya pada institusi tersebut  maka timbul pertanyaan, “apakah mungkin mencari kelompok kontrol dan randomisasi?”.

4.     Kesulitan dalam menstandarkan intervensi yang dilakukan/kesulitan dalam menseragamkan intervensi.
       Dalam dunia pendidikan sulit sekali untuk menseragamkan sebuah perlakuan cotohnya penerapan PBL yang mana memiliki berbagai macam pola penerapan. Norman (2002) mengemukakan tidak ada dosis yang standar atau fixed dalam intervensi pedidikan. Hal ini berbeda untuk penelitian di biomed seperti pengaruh obat terhadap suatu penyakit, yang mana dapat ditentukan dosis yang fixed. Berbeda dengan penelitian evaluasi kurikulum misalnya pengaruh PBL terhadap kemamuan Self Directed Learning (SDL). Penerapan PBL di berbagai FK dapat bermacam-macam. Kemungkinan penerapan SDL dalam PBL di FK A 50% , sedangkan di FK B adalah 70% , maka apabila mereka dijadikan subjek penelitian maka tentu saja pengaruh PBL terhadap SDL akan berbeda.

5.     Masalah etika penelitian.
       Masalah etika penelitian merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Penerapan intervensi dengan metode blinded dalam penelitian pendidikan sering terhalang dengan isu etika. Secara etika intervensi tersebut harus dijelaskan kepada subjek penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Padahal apabila suatu intervensi diketahui oleh subjek penelitian maka ada kecendrungan subjek penelitian melakukan dengan sungguh-sungguh sehingga penelitian tidak berjalan secara alamiah.Pengaruh hasil penelitian terhadap institusi juga perlu dipertimbangkan. Adanya prediksi nantinya pengaruh hasil penelitian yang akan menentang kebijaksanaan institusi dapat mengkibatkan kadangkala peneliti menghindari resiko ini dengan cara menghilangkan salah satu variable dengan harapan hasil penelitian tidak akan menentang kebijaksanaan.

6.     Tidak adanya pure outcome.
       Outcome yang dihasilkan dari sebuah intervensi pendidikan seringkali tidak merupakan outcome murni dari intervensi tersebut. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor penganggu yang mana secara tidak langsung berhubungan dengan hasil penelitian. Postner dan Rudnitsky, 1994 juga mengemukakan dalam outcome based evaluation terdapat informasi mengenai main effect dan side effect sehingga kadangkala peneliti kesulitan membedakan atara main effect dan side effect ini.

7.     Kesulitan mencari alat ukur.
Evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.

8.     Penggunaan perspektif kurikulum yang berbeda sebagai pembanding.
       Postner mengemukakan ada lima perspektif dalam kurikulum yaitu traditional, experiential, Behavioral, structure of discipline dan constructivist. Masing-masing perspektif ini memiliki tujuannya masing-masing. Dalam melakukan evaluasi kurikulum kita harus mengetahui perspektif kurikulum yang akan dievaluasi dan perspektif kurikulum pembanding. Hal ini sering terlihat dalam evaluasi kurikulum dengan menggunakan metode comparative outcome based yang bila tidak memperhatikan masalah ini akan melahirkan bias dalam evaluasi. Kurikulum dengan perspektif tradisional tentu saja berlainan dengan kurikulum yang memiliki perspektif konstruktivist. Contoh kurikulum tradisional menekankan pada recall of knowledge sedangkan kurikulum konstruktivist menekankan pada konsep dasar dan ketrampilan berpikir. Apabila ada penelitian yang menghasilkan bahwa kurikulum tradisional di pendidikan dokter lebih baik dalam hal knowledge dibandingkan dengan PBL hal ini tentu saja dapat dimengerti karena perspektifnya berbeda. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan kurikulum yang perspektifnya berbeda ini seringkali menjadi kritikan oleh para ahli. 




DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan. 2003. Buku II–Kurikulum Program Studi.
Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Kencana Prenada Media Group.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikulum. Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya.
Posner, G.J. 2004. Analyzing The Curriculum. Mc Graw Hill. United States.
Amin, Z.E., Eng, K.H. 2003. Basics in Medical Education. World Scientific. Singapore.
Dolman, D. 2003. The effectiveness of PBL : the debate continous. Some concerns about the BEME movement. Medical Education 2003;37:1129-1130.
Farrow, R. The effectiveness of PBL: the debate continues. Is meta analysis helpful? Medical Education 2003;37:1131-1132.
Norman, G.R, Schdmidt H.G. Effectiveness of problem based learning curricula: theory, practice and paper darts. Medical Education 2000;34:721-728.
Albanese, M. Problem based learning: why curricula are likely to show little effect on knowledge and clinical skills. Medical Education 2000;34:729-738.
Lindeman, M. 2007. Program Evaluation. Online. http://www.tedi.uq.edu.au/conferences/A_conf/papers/Isaacs.html. Diakses pada tanggal 3 July 2007.
Silver,  H. 2004. Evaluation Research in Education. Online. http://outh.ac.uk/resined/evaluation/index.htm. Diakses pada tanggal 3 July 2007.
Trochim, W.M.K. 2006. Introduction to Evaluation. Online. http://www.socialresearchmethods.net/kb/intreval.php. Diakses pada tanggal 3 July 2007.
DR. Zulharman, M. Med. Ed. 2007. Evaluasi Kurikulum : Pengertian, Kepentingan, dan Masalah yang Dihadapi. Online. http://zulharman79.wordpress.com/2007/08/04/evaluasi-kurikulum-pengertian-kepentingan-dan-masalah-yang-dihadapi/. Diakses pada tanggal 17 April 2012.
WebRepOverall rating 

0 komentar:

Posting Komentar

Select Your Language