PARADIGMA
ALTERNATIF PEMBELAJARAN
Pendahuluan
Pada
bagian pertama ini anda diajak untuk megkaji dan membahas Paradigma Baru
Pembelajaran. Seperti kita pahami bersama, banyak pandangan yang memberikan
arah baru terhadap proses dan dimensi-dimensi pendidikan yagn semakin mendorong
terjadinya perubahan konsep dan cara pandang terhadap eksistensi pembelajaran
sehingga dapat dijadikan sebagai kerangka berpikir di dalam memahami lebih
dalam persoalan-persoalan pembelajaran.
Dengan mengkaji paradigma alternatif pembelajaran ini pula para pendidik atau calon pendidik diharapkan dapat memandang sesuatu masalah, mengambil tindakan/keputusan yang terkait dengan praktik pembelajaran secara arif sehingga upaya pengembangan potensi peserta didik sebagai muara dari seluruh kegiatan pembelajaran dapat menjadi lebih terarah dan pada akhirnya dapat dioptimalisasi sebagaimana yang diharapkan. Pengkajian paradigma alternatif ini akan memberikan bek`l dasar di dalam mengkaji bagian-bagian lebih lanjut dari uraian buku ini yang memungkinkan berkembangnya nuansa-nuansa baru pembelajaran yang lebih inovatif.
Dengan mengkaji paradigma alternatif pembelajaran ini pula para pendidik atau calon pendidik diharapkan dapat memandang sesuatu masalah, mengambil tindakan/keputusan yang terkait dengan praktik pembelajaran secara arif sehingga upaya pengembangan potensi peserta didik sebagai muara dari seluruh kegiatan pembelajaran dapat menjadi lebih terarah dan pada akhirnya dapat dioptimalisasi sebagaimana yang diharapkan. Pengkajian paradigma alternatif ini akan memberikan bek`l dasar di dalam mengkaji bagian-bagian lebih lanjut dari uraian buku ini yang memungkinkan berkembangnya nuansa-nuansa baru pembelajaran yang lebih inovatif.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan di atas, maka pada bagian ini akan dipaparkan tentang
beberapa dimensi yang terkait dengan paradigma alternatif pembelajaran, yaitu:
perlunya paradigma alternatif pembelajaran, belajar sebagai pilar utama
pendidikan, pembelajaran sebagai proses pemberdayaan diri, konstruktivisme
sebagai paradigma alternatif. Terkait dengan bahasan tersebut, maka setelah
mempelajari bab ini, berdiskusi dengan rekan-rekan anda serta mengerjakan
tugas-tugas latihan yang disediakan, diharapkan anda memiliki kompetensi;
1. Menjelaskan perlunya paradigma alternatif pembelajaran.
2. Menjelaskan kedudukan pembelajaran sebagai pilar utama pendidikan.
3. Menjelaskan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan diri.
4. Menjelaskan paradigma konstruktivisme dalam pembelajaran.
Menjelaskan perlunya
paradigma alternatif pembelajaran. Menjelaskan kedudukan
pembelajaran sebagai pilar utama pendidikan. Menjelaskan pembelajaran
sebagai proses pemberdayaan diri. Menjelaskan paradigma
konstruktivisme dalam pembelajaran.
A.
Perlunya
paradigma Baru Pendidikan
Untuk
membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas, maka mau tidak mau harus
merubah paradigma dan sistem pendidikan. Formalitas dan legalitas tetap saja
menjadi sesuatu yang penting, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi juga
bukan merupakan sesuatu yang bisa diabaikan hanya untuk mengejar tataran formal
saja. Maka yang perlu dilakukan sekranag bukanlah menghapus formalitas yang
telah berjalan melainkan menata kembali sistem pendidikan yang ada dengan
paradigma baru yang lebih baik. Dengan paradigma baru, praktik pembelajaran
akan digeser menjadi pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori kognitif dan
konstruktivistik. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan
intelektual yang berlangsung secara sosial
dan kultural, mendorong siswa membangun peemahaman dan pengetahuannya
sendiri dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan
prespektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai
derajat berpikir tingakat tinggi (Kamdi, 2008).
Dalam
salah satu sambutannya, Mendiknas memberikan arah kebijakan mendasar dalam
meletakkan kerangka pembangunan pendidikan masa mendatang. Dalam kesempatan
tersebut dikemukakan bahwa paradigma pendidikan kita tidak sekedar menempatkan
manusia sebagai alat produksi. Manusia harus dipandang sebagai sumber daya yang
utuh. Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori ekonomi neoklasik, suatu
teori yang menempatkan manusia sebagai alat produksi, di mana penguasaan iptek
bertujuan menompang kekuasaan dan kepentingan kapitalis. “Saya akan membawa
pendidikan sebagai proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya” (Kamdi,
2008:2).
Kelemahan
terbesar dari lembaga-lembaga pendidikan dan pembelajaran kita menurut
Purwasasmita (2002:132) karena pendidikan tidak memiliki basis pengembangan
budaya yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya dikembangkan berdaarkan model
ekonomik untuk menghasilkan/membudaya manusia pekerja (abdi dalem) yang sudah
disetel menurut tata nilai ekonomi yang berlatar (kapitalistik), sehingga tidak
mengherankan bila keluaran pendidikan kita menjadi manusia pencari kerja dan
tidak berdaya, bukan manusia kreatif pencipta keterkaitan kesejahteraan dalam
siklus rangkaian manfaat yang seharusnya menjadi hal yang paling esensial dalam
pendidikan dan pembelajaran.
Pemikiran-pemikiran
yang positif memberikan arahan bahwa sudah selayaknya jika dunia pendidikan
diarahkan pada upaya transformasi dan pengembangan prinsip-prinsip secara
komprehensip dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Kepada para
peserta didik perlu diberi bekal pengetahuan serta nilai-nilai dasar sebagai
suatu pandangan hidup yang sangat pluralis, baik dari aspek etnisitas,
kultural, maupun agama. Jika dunia pendidikan berhasil melaksanakan tugas ini,
maka pada gilirannya masyarakat kita di masa depan semakin lama akan berkembang
menjadi masyarakat berkualitas secara intelektual dan moral. Namun sebaliknya,
jika gagal, maka kita tidak bisa berharap generasi masa depan akan mampu
menampilkan sosok bangsa yang cerdaas serta mampu menjunjung nilai-nilai luhur
budayanya.
Dalam
proses pembelajaran misalnya, pengembangan suasana kesetaraan melalui komunikasi
dialogis yang transparan, toleran, dan tidak arogan seharusnya terwujud di
dalam aktifitas pembelajaran. Suasana yang memberi kesempatan luas bagi peserta
didik untuk berdialog dan mempertanyakan berbagai hal yang berkaitan dengan
pengembangan diri dan potensinya. Hal ini menjadi sangat penting karena para
pendidik juga adalah pemimpin yang harus mengakomodasi berbagai pertanyaan dan
kebutuhan peserta didik secara transparan, toleran, dan tidak arogan, dengan
membuka seluas-luasnya kesempatan-kesempatan dialog kepada peserta didik
(Parkey, 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang mampu
menumbuhkan suasana dialogis, kesetaraan, dan tidak arogan atau nondefensif
serta selalu berupaya mendorong sikap positif, akan dapat mendorong terjadinya
keefektifan proses pembelajaran (Goldsmith, 1996: 236). Para pendidik maupun
peserta didik, sesuai dengan kapasitasnya, harus berusaha untuk mampu saling
menghargai dan menghormati pendapat atau pandangan orang lain. Karena itu
suasana pendidikan harus diciptakan dalam rangka mengembangkan dialog-dialog
kreatif dimana setiap peserta didik diberi kesempataang sama untuk diskusi,
berdebat, mengajukan dan merespon berbagai persoalan yang muncul dalam setiap
kegiatan pembelajaran. Yang terpenting adalah bahwa setiap orang diberi
kesempatan untuk menjadi sebijaksana mungkin menurut kemampuannya
masing-masing. Suasana kesetaraan perlu dikembangkan dengan berorientasi pada
upaya mendorong peserta didik agar mampu menyelesaikan berbagai perbedaan yang
ada di atara sesama secara harmonis dan rasional.
Dalam proses pembelajaran, pengembangan potensi-potensi siswa harus dilakukan secara menyeluruh dn terpadu. Pengembangan potensi siswa secara tidak seimbang pada gilirannya menjadikan pendidikan cenderung lebih peduli pada pengembangan satu aspek kepribadian tertentu saja, bersifat partikular dan parsial. Padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan siswa merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh semua sekolah dan guru, dan itu berarti sangat keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran pada bidang studinya saja 9Gordon, 1997:8). Guru memegang peranan setrategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peranan guru sulit digantikan oleh yang lain (Supriadi:1998). Karenanya dalam proses pembelajaran di kelas, guru tidak cukup hanya berbekalpengetahuan berkenaan dengan bidang studi yang diajarkan, akan tetapi perlu memperhatikan aspek-aspek pembelajaran secara holistik yang mendukung terwujudnya pengembangan potensi-potensi peserta didik.
Menteri Pendidikan Nasional melalui sambutannya pada seminar lokakarya nasional FORMOPPI-Balitbang Diknas 19 April 2005, bahkan mengemukakan bahwa secara fisiologis pendidikan ditantang untuk melakukan redefensi tentang tujuan, fungsi, dan hakikat pendidikan yang berperan sebagai “human education for all human being”. Pendidikan harus memiliki keseimbangan dalam perannya membangun peserta didik sebagai warga dunia, warga bangsa dan warga masyarakat. Dengan demikian, secara filosofis arah pendidikan harus menyeimbangkan antara hal-hal yang akan berdimensi masa depan dengan hal-hal yang berdimensi masa kini. Menurutnya secara substansi, arah pendidikan harus membekali peserta didik dengan kompetensi yang bersifat subject matter dan kompetensi lintas kurikulum (cross-curriculer competencies) yang diperlukan. Kompetensi subject matter berkatian dengan mata pelajaran yang harus benar-benar dipilih oleh satuan pendidikan sebagai dasar peserta didik untuk memahami dan mengembangkan kompetensi dirinya. Kompetensi lintas kurikulum adalah kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan peserta didik sebagai individu, yang baik secara implisit maupun eksplisit terkait dengan beberapa mata pelajaran. Kemampuan lintas kurikulum yang sangat diperlukan antara lain kemampuan memecahkan masalah, komunikasi, hubungan sosial dan interpersonal, kemandirian, estetika dan etika. Kompensi-kompetensi lintas kurikulum tersebut tidak dapat dipelajari secara spesifik melalui mata pelajaran, tetapi merupakan kemampuan yang diperoleh secara holistik dan integratif antar mata pelajaran. Dalam kehidupan yang semakin kompleks sering kali kompetensi lintas kurikulum merupakan instrumen yang sangat penting untuk dapat bertahan hidup (survival kit).
Secara pendagogis arah pendidikan terkait dengan pengembangan pendekatan dan metodologi proses pendidikan dan pemelajaran yang memanfaatkan berbagai sumber belajat (multi learning resources). Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan telah mengubah paradigma pendidikan yang menempatkan guru sebagai fasilitator dan agen pembelajaran dimana peserta didik dapat memiliki akses yang seluas-luasnya kepada beragam media untuk kepentingan pendidikannya.
0 komentar:
Posting Komentar